Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Mewariskan Budaya Lewat Tulisan

Oleh: R.S. Kurnia

Bagaimana Anda dapat mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu atau ratusan tahun lampau? Buku sejarah mungkin menjadi jawaban Anda. Tidak salah memang karena buku-buku sejarah banyak mengisahkan apa yang terjadi, jauh sebelum zaman informasi ini. Belum lagi revolusi mesin cetak dan internet yang memungkinkan informasi masa lalu terekam dengan baik.

Meski literatur saat ini bisa dibilang komplet dan beragam, sejarah masa lalu umat manusia tidak seketika itu juga dihadirkan lewat buku-buku maupun perangkat digital yang saat ini tersedia. Sebab, budaya tulisan bukanlah budaya manusia yang tertua. Sebaliknya, budaya lisan jauh lebih tua daripada budaya tulisan. Kelompok-kelompok masyarakat tertentu, bahkan masih mempertahankan budaya lisan ini.

Sebelum era tulisan, pengalihan tradisi dari generasi ke generasi dilakukan secara lisan. Para leluhur akan bertutur kepada anak-cucunya, menyampaikan kisah-kisah moral, termasuk berbagai pengajaran. Metode ini masih bisa ditemukan pada sejumlah suku bangsa.

Gambar: Menulis dan Budaya

Hanya, metode lisan memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan yang utama ialah tidak banyak orang yang bisa mengingat apa yang disampaikan pendahulunya setepat yang dikemukakan kepadanya. Sedikit banyak, tentu ada saja yang tidak tersampaikan. Belum lagi kemungkinan untuk menambah maupun mengurangi secara sadar cukup terbuka.

Meski demikian, manusia tidak langsung mengenal sistem tulisan dengan alfabet seperti kita saat ini. Sebelumnya, dikenal piktogram, yaitu aksara berupa gambar untuk mengungkapkan amanat tertentu. Tradisi ini sangat tua usianya. Masa-masa awal penggunaan piktogram ini diperkirakan di Mesopotamia oleh bangsa Sumeria Kuno.

Manusia diperkirakan mulai memasuki masa aksara sekitar 3000 sM. Aksara pertama disebut-sebut pertama kali melalui tiga kebudayaan besar: bangsa Sumeria di Mesopotamia dengan huruf pakunya, masyarakat lembah Sungai Nil di Mesir dengan hieroglifnya, dan masyarakat Han di lembah Sungai Kuning dengan aksara han (Kridalaksana dan Sutami 2005).

Revolusi tulisan baru terjadi ketika Gutenberg menemukan mesin cetak di Eropa. Buku-buku yang dahulunya memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menyalinnya kini dapat dihadirkan dengan lebih cepat. Sampai Martin Luther pun menyebutkan bahwa mesin cetak merupakan salah satu anugerah terbesar Tuhan selain keselamatan (Pranata 2002). Hal ini tentu memungkinkan penyebaran literatur dengan lebih cepat. Teknologi saat ini malah telah memungkinkan dihasilkannya ribuan eksemplar dalam waktu yang lebih singkat.

MEMBEKUKAN WAKTU, MEWARISKAN BUDAYA

Kegiatan menulis sebenarnya bisa dianggap sebagai kegiatan membekukan waktu. Konteks yang ada di sekitarnya pun turut terekam di dalamnya. Hal ini jelas terasa, misalnya dalam buku-buku biografi, sejauh buku tersebut dituliskan secara jujur. Sebab, informasi yang dituangkan dalam tulisan tersebut menjadi rekaman sepanjang masa. Rekaman itu malah relatif lebih awet mengingat revolusi digital yang terjadi.

Pada dasarnya, sejumlah konteks dapat terekam bersama dengan tulisan, sejauh konteks-konteks tersebut (waktu, tempat, budaya) disertakan; eksplisit maupun implisit. Ketika tulisan itu dibaca kembali, nuansa yang tercakup di dalamnya sedikit banyak akan dapat ditangkap. Dengan demikian, gambaran keadaan (dan dengan demikian budaya) di sekitar penulisan bisa dirasakan pula.

Alkitab merupakan wujud keberhasilan pembekuan berbagai konteks tersebut. Para penulisnya dengan sangat baik menangkap dan merepresentasikan nuansa pada masanya -- sesuatu yang kita imani sebagai tuntunan Roh Kudus. Tidak mengherankan bila kita senantiasa diingatkan atau dituntut untuk memperhatikan konteks tertentu ketika hendak membahas suatu ayat agar tidak keliru menafsirkan bagian itu.

Ketika tulisan itu lebih difokuskan pada aspek budaya, aspek-aspek yang diangkat (bila diungkapkan dengan cara yang baik) dapat dinikmati, seakan-akan langsung hadir di hadapan pembacanya. Dengan demikian, budaya yang diwariskan pun akan lebih hidup. Apalagi bila dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi, gambar-gambar, atau foto-foto. Media massa tercetak dan situs web memungkinkan hal ini.

Ada beberapa jenis tulisan yang berpotensi besar untuk meneruskan kebudayaan. Pada saat ini, bentuknya bermacam-macam. Bisa berupa makalah, skripsi, tesis, disertasi, jurnal ilmiah, buku, majalah, dan sebagainya.

1. Tulisan sejarah.

Kalau mencermati buku-buku sejarah, kita bisa melihat situasi ekonomi, sosial, politik, termasuk kebudayaan yang berlaku pada suatu periode di tengah suku bangsa tertentu. Tidak sekadar menggambarkan, tulisan sejarah bisa dianggap melengkapi benda-benda historis lainnya.

2. Tulisan budaya.

Berbeda dengan tulisan-tulisan sejarah, tulisan-tulisan budaya secara khusus menjelaskan kebudayaan komunitas tertentu. Jadi, tulisan-tulisan ini tidak difokuskan pada penjelasan latar sosial-politik lingkungan masyarakat tertentu. Namun, bukan berarti tidak menyinggung aspek tersebut sama sekali. Tulisan seperti ini, misalnya, tulisan-tulisan yang mengungkapkan tata pernikahan, penjelasan simbol-simbol adat, akan mewariskan hal-hal tersebut kepada generasi berikutnya.

3. Liputan berita.

Beberapa media massa memberikan kolom khusus budaya. Artikel-artikel budaya yang disajikan pada kolom tersebut merupakan salah satu sarana untuk menginformasikan sekaligus membuka mata masyarakat perihal budaya suatu daerah. Beberapa bahkan mengangkat kebudayaan yang hampir punah dengan ajakan untuk memelihara budaya tersebut.

4. Karya-karya sastra.

Tidak sedikit karya sastra yang mengangkat fenomena budaya sebagai bagian dari karyanya. Sebut saja karya Korrie Layun Rampan, Api, Awan, Asap yang mengangkat budaya Dayak Benuaq.

5. Tulisan pribadi.

Era blog saat ini memungkinkan siapa saja untuk berpartisipasi dalam mewariskan budayanya lewat tulisan. Dengan blog, setiap orang bisa membaca, bahkan merespons secara langsung (bandingkan dengan buku harian yang lebih eksklusif sifatnya). Tulisannya bisa berupa pemaparan atau refleksi, tergantung penyajiannya.

Cobalah bandingkan jenis-jenis tulisan di atas dengan kitab-kitab pada Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Pastilah Anda akan menemukan kekayaan budaya dalam beragam jenis tulisan di sana dan, lebih daripada itu, firman Allah.

MENTRANSFER BUDAYA LEWAT TULISAN

Pewarisan budaya lewat tulisan boleh dibilang bukan perkara yang mudah. Apalagi bila berpatokan pada akurasi. Data dan makna yang terkandung di dalamnya tentu harus tepat sebagaimana yang berlaku pada masyarakat yang budayanya hendak diungkapkan. Oleh karena itu, langkah-langkah berikut perlu diperhatikan.

1. Penyelidikan awal.

Selidiki budaya yang paling jarang diekspos di media. Kalaupun suatu budaya cukup umum diangkat, coba cermati aspek lain dari budaya tersebut yang terkesan samar. Hal-hal yang minim itu akan menjadi aspek yang penting untuk diungkapkan. Boleh dikata, semakin jarang aspek budaya itu diangkat, semakin perlu ia diangkat sehingga bagian tersebut, meski sudah tidak dipraktikkan lagi, akan tetap dipelajari sebagai bagian budaya masyarakat tertentu.

2. Melakukan riset.

Setelah menemukan aspek tersembunyi -- katakanlah demikian -- dari budaya tertentu, lakukanlah riset atau penelitian lebih dalam lagi. Penelitian dapat dilakukan dengan menyelidiki setuntas mungkin perihal budaya terkait. Namun, kita perlu memperhatikan hal-hal ini:

  1. latar belakang budaya masyarakat terkait;
  2. aspek budaya yang paling banyak dikenal;
  3. situasi masyarakat masa lalu dan masa kini;
  4. peninggalan-peninggalan budaya;
  5. penelusuran pelaku-pelaku budaya.

Keempat hal tersebut sedikit banyak akan membangun jembatan kepada aspek budaya yang jarang diekspos. Seperti kepingan bongkar pasang, kita perlu menjalinnya menjadi suatu keutuhan dalam bentuk tulisan.

Berbeda dengan tulisan-tulisan sejarah, tulisan-tulisan budaya secara khusus menjelaskan kebudayaan komunitas tertentu. (R.S. Kurnia)


Facebook Twitter WhatsApp Telegram

3. Menguji hasil penelitian.

Pengujian dapat dilakukan dengan kembali menemui pelaku-pelaku budaya, dalam hal ini para sesepuh. Sedikit banyak, mereka itulah yang menjadi sumber informasi tepercaya untuk meyakinkan kembali hasil penelitian kita; apakah memang benar budaya yang kita ungkap lewat tulisan itu benar-benar sesuai dengan fakta atau tidak. Hal ini memang paling cocok bila kita hendak menyajikan tulisan yang bersifat menyeluruh. Namun, bukan berarti tidak relevan bila diterapkan pada tulisan yang memang hanya bersifat mempertanyakan eksistensi aspek budaya tersebut.

4. Penarikan simpulan.

Bila telah mendapatkan kepastian melalui pengujian, berikan simpulan yang jelas sehingga setiap orang dapat memahaminya.

Tentu saja Anda tidak harus menuangkan tulisan ilmiah panjang lebar hanya untuk mewariskan sesuatu. Faktanya, kita dapat memanfaatkan beragam jenis tulisan sesuai kemampuan kita untuk melakukan pentransferan budaya tersebut, termasuk fiksi. Langkah-langkah di atas mungkin cenderung mengarah kepada penelitian ilmiah. Namun, bukan mustahil untuk diterapkan pada penulisan fiksi. Karena sering kali sistematika ilmiah membantu seorang penulis fiksi untuk meruntun sajiannya sehingga tampil menawan.

TENTANG TULISAN POPULER

Memang ada kecenderungan untuk menyisihkan tulisan-tulisan populer sebagai tulisan yang hanya bernilai hiburan. Tulisan-tulisan seperti novel-novel picisan dinilai sebagai sampah dan tidak layak dianggap sebagai karya sastra.

Akan tetapi, karya-karya populer yang belakangan merebak, sebut saja novel-novel chicklit dan teenlit, sebaiknya jangan begitu saja diacuhkan. Mungkin bobotnya kalah jauh ketimbang karya-karya sastra lain. Namun, tulisan-tulisan demikian merupakan fenomena zaman yang tidak dapat dimungkiri.

Karya-karya populer juga bisa dianggap sebagai perwujudan budaya masyarakat pada masa tersebut. Coba saja bandingkan kehidupan anak remaja pada zaman Lupus (karya Hilman) itu dengan kehidupan remaja gaya chicklit dan teenlit. Masing-masing tetap mencerminkan budaya remaja pada zamannya, budaya populer.

TUGAS SIAPA?

Akhirnya, kita patut menyadari peran kita sebagai orang percaya. Bahwa melalui dunia tulis-menulis, pesan Injil dapat diberitakan, tidaklah dapat kita mungkiri. Bahkan, karena kita telah mengenal Kristuslah, maka kita berkewajiban untuk melanjutkan budaya luhur yang dihasilkan pada generasinya. Ini tentu berarti hal-hal positif yang kelak mendorong generasi berikutnya untuk berkembang, perlu disampaikan. Dan tulisan adalah salah satu caranya.

Bangsa Israel pada masa Perjanjian Lama diperintahkan untuk mengajarkan kebenaran firman Allah yang terkandung dalam Taurat -- sesuatu yang bisa dikatakan membudaya dalam tatanan hidup orang Israel -- kepada generasi-generasi di bawah mereka (Ulangan 31:19). Sementara para rasul turut menyuarakan kebenaran itu dengan tinta dan pena dengan tujuan mulia, agar setiap orang mengenal Kristus dan beroleh hidup yang kekal (1 Yohanes 5:13).

Melalui tulisan, kita pun dapat (dan sudah seharusnya) menyuarakan kebenaran firman Tuhan. Tidak masalah kalau Anda lebih senang menulis fiksi. Robert L. Short (1974:13) pernah menulis bahwa seni (termasuk karya tulis fiksi; sastra) memiliki kemampuan untuk menaklukkan intelektual dan prasangka emosional manusia. Karena sifatnya yang tidak langsung, pewarisan tradisi Kristen yang agung melalui fiksi dapat menjadi sarana penjangkauan pula. Dan, sudah tugas kita untuk mewariskan budaya hidup Kristen kepada generasi berikutnya. Tidakkah Anda terbeban?

Audio Mewariskan Budaya

Daftar bacaan:

Kridalaksana dan Sutami. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. 2005. Aksara dan Ejaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pranata, Xavier Quentin. 2002. Menulis dengan Cinta. Yogyakarta: Yayasan ANDI.

Short, Robert L. 1974. The Gospel According to Peanuts. Soffolk: Collins.

Komentar