Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Puisi Populer, Kenapa Tidak?

Penulis : Sam Haidy

Kenapa tidak ada genre puisi pop? Kenapa tidak seperti halnya musik, film, novel atau karya pop lainnya? Kenapa tidak?
[block:views=similarterms-block_1]
Puisi sepertinya tidak mampu beradaptasi ketika berada di tempat- tempat umum. Daya hidupnya hanya terbatas di habitatnya saja. Penikmat puisi, selain jumlahnya tidak banyak, juga keberadaannya tidak tersebar secara merata dalam masyarakat. Mereka pada umumnya tergabung dalam sebuah wadah khusus - biasanya berupa komunitas - yang sengaja dibentuk sebagai tempat untuk mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan puisi. Jadi, dengan demikian bukan puisi yang aktif menghampiri mereka, tapi mereka yang aktif menghampiri puisi. Karena sifatnya yang pasif, eksistensi puisi tidak bisa secara langsung bersentuhan dengan masyarakat awam (umum). Perlu pendekatan yang intens terlebih dahulu untuk bisa mengapresiasi puisi, harus melalui proses yang memakan waktu tidak sedikit. Sedangkan kebanyakan masyarakat awam adalah orang-orang yang memandang sebuah karya seni hanya dari sisi praktisnya saja, tanpa perlu bersusah payah untuk bisa memahaminya. Apalagi dalam masyarakat awam dengan minat baca rendah yang telah terbiasa dimanjakan oleh rangsangan inderawi saja untuk menikmati seni, maka akan semakin sulit bagi puisi untuk beradaptasi.

Ada beberapa cara yang telah dicoba untuk mempopulerkan puisi. Ada yang membawakannya dengan cara berorasi, mengemasnya dalam bentuk musikalisasi, atau memasukannya ke dalam adegan film. Promosi puisi masih membutuhkan bantuan dari media lain seperti audio atau visual supaya bisa diterima secara luas, belum ada yang bisa menarik peminat yang banyak dengan hanya mengandalkan media teks saja. Meskipun terbukti efektif, cara-cara seperti itu lama kelamaan bisa menimbulkan ketergantungan yang berdampak buruk bagi perkembangan puisi secara tekstual. Apresiasi terhadap teks bisa berkurang sehingga dengan sendirinya kualitas puisi juga akan ikut menurun, karena teks adalah media utama dalam penciptaan dan pendokumentasian puisi. Eksplorasi penyair terhadap teks dikhawatirkan akan kurang maksimal, sehingga diksi yang dihasilkan menjadi monoton dan maknanya kurang dalam, karena kekuatan teks tidak lagi dijadikan prioritas utama dan kelemahannya bisa ditutupi dengan kelebihan pada instrumen seni yang lain. Misalnya sebuah puisi yang kualitas teksnya rendah bisa ditutupi bila dikemas dengan iringan musik yang indah, karena perhatian penonton akan terbagi dan tidak lagi terfokus pada teksnya saja. Akibatnya, puisi tidak lagi berdiri sendiri sebagai sebuah karya seni yang utuh, karena penyampaiannya tergantung pada bantuan karya seni yang lain.

Usaha untuk mempopulerkan puisi dengan cara-cara seperti itu adalah sebuah hal yang dilematis. Di satu sisi bisa berdampak positif, karena eksistensi puisi akan dikenal secara luas, tidak terbatas di habitatnya saja. Sedangkan di sisi lain bisa berdampak negatif, karena kualitas puisi tidak lagi dinilai dari teksnya saja, sudah terdistorsi dengan adanya bantuan dari instrumen seni yang lain.

Jalan keluarnya adalah dengan menjawab pertanyaan ini: apakah puisi bisa populer bila hanya mengandalkan kekuatan teks saja?

Kendala utamanya adalah diksi puisi yang sudah terlanjur mendapat cap rumit sehingga sulit dimengerti oleh masyarakat awam. Jargon yang digunakan tidak biasa dipakai secara umum, hanya orang-orang tertentu yang bisa langsung tahu artinya. Orang awam yang ingin tahu harus membuka kamus terlebih dahulu, sehingga dari sana bisa timbul keengganan karena mereka merasa direpotkan. Kendala lainnya adalah kata-kata dan alur puisi yang terlalu panjang dan bertele-tele, sehingga tidak bisa dinikmati hanya dalam sekali baca, apalagi dihafalkan di luar kepala. Padahal syarat untuk menjadi karya populer adalah yang bisa langsung dimengerti dan cepat diserap oleh masyarakat awam, tapi bukan berarti kualitasnya tidak diperhitungkan. Masyarakat awam mempunyai kriterianya sendiri dalam menentukan mana karya yang bisa mereka terima dan mana yang tidak. Mereka tidak sembarang menerima karya begitu saja, ada ukuran yang tidak secara sengaja mereka sepakati bersama yang mereka terapkan dalam menyeleksi sebuah karya, apakah bisa memenuhi selera mereka atau tidak. Karena itulah diperlukan kejelian penyair untuk membaca situasi dan mengamati gejala yang sedang terjadi dalam masyarakat umum. Puisi populer harus mampu relevan dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang luas, sehingga eksistensinya bisa bersentuhan langsung dengan masyarakat umum.

Tentunya tidak cukup hanya dengan mengemukakan teori saja untuk mewujudkan gagasan puisi pop. Lebih dari itu harus ada juga karya nyata yang bisa mewakili dan memenuhi syarat untuk menjadi puisi pop, sehingga bisa mempelopori lahirnya genre baru dalam dunia perpuisian Indonesia.
Di bawah ini adalah salah satu contoh puisi yang memiliki kriteria untuk menjadi puisi pop:

TENTANG SESEORANG
Aku ingin berhenti menuliskanmu.
Bosan aku dengan pena, dan enyah saja kau kertas!
Seperti mengerami mimpi yang tak kunjung menetas...
Digenangi air mata jingga adalah bayangmu.
Aku tersedu karena rindu; ingin bertemu...

Puisi di atas sangat memenuhi syarat untuk menjadi puisi pop: singkat, padat dan mudah dicerna. Diksi yang ditawarkan adalah kata- kata yang bisa mengundang selera masyarakat awam, karena biasa digunakan secara umum sehingga tidak perlu membuka kamus khusus. Isi yang ingin disampaikan menggunakan perumpamaan dan simbol yang sederhana, sehingga tidak perlu mengerutkan dahi untuk memahaminya. Meskipun terkesan ringan, bukan berarti puisi tersebut mengesampingkan kualitas dalam penulisannya, supaya tidak dianggap remeh oleh pembaca yang lebih kritis. Bila dilihat dari segi diksi saja, mungkin kebanyakan pembaca akan menganggap puisi tersebut hanyalah sebuah parodi yang bermaksud main-main, karena mencomot lalu memodifikasi beberapa baris dari puisi yang terdapat dalam sebuah karya film pop. Tapi bila dilihat juga dari segi isi, secara keseluruhan apa yang ingin disampaikan melalui puisi tersebut sangatlah serius. Tema yang diangkat adalah tentang kerinduan yang mengharukan, tergambar jelas dari penggunaan kata-kata dan tanda- tanda dalam penulisannya. Kontinuitas dari satu baris ke baris selanjutnya terikat kuat, sehingga secara keseluruhan membentuk sebuah kesatuan puisi yang utuh. Tidak ada diksi yang sia-sia, semuanya dipilih secermat mungkin supaya bisa mewakili perasaan yang ingin disampaikan. Dibumbui penempatan rima secukupnya, dalam satu baris dan antar baris, membuat isi puisi terasa bertambah lezat untuk dilahap para pembaca. Singkat, padat dan mudah dicerna. Yang seperti itulah yang dinamakan puisi pop.

Seperti halnya dalam karya pop lainnya, orisinalitas yang sifatnya umum tidak perlu dipermasalahkan, karena sudah dianggap milik bersama dan boleh digunakan oleh siapa saja. Dalam musik pop, kesamaan susunan beberapa nada pada sebuah lagu baru dengan lagu sebelumnya sudah lumrah terjadi. Tapi ada ukuran tertentu baik yang sudah tertulis maupun yang masih berupa bahan perdebatan yang disepakati untuk menentukan sampai mana batas sebuah karya bisa dikatakan sebagai plagiat atau tidak. Demikian juga dengan karya pop lainnya seperti novel, film dan lain-lain.

Tidak ada salahnya menjadikan puisi sebagai karya pop sebagaimana karya seni lainnya, tapi dengan catatan tanpa mengesampingkan kualitasnya. Tidak ada yang tabu dalam seni, segala kemungkinan patut dicoba. Tidak perlu khawatir kesakralan puisi akan ternoda karenanya. Sudah saatnya puisi terbebas dari keterbatasannya untuk menjadi bagian dari hiruk pikuk dunia di luarnya. Keberadaan puisi pop bisa merangsang minat baca masyarakat awam, sehingga selanjutnya mereka mungkin akan tertarik untuk naik ke tingkat bacaan yang lebih tinggi. Dengan adanya puisi pop, promosi puisi bisa berdiri dan berjalan sendiri, tidak perlu lagi tergantung pada bantuan dari karya seni yang lain. Dan bukan tidak mungkin masih banyak lagi dampak positif yang akan bisa diwujudkan dengan adanya puisi pop.

Puisi pop(uler); kenapa tidak?
Bahan dari:
Sumber : Milis Penyair (penyair@yahoogroups.com)
Penulis : Sam Haidy
(Ciamis, 22 Desember 2005)

Komentar