Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Jurnalisme yang Membawa Damai

"Berbahagialah orang yang membawa damai di antara manusia; Allah akan mengaku mereka sebagai anak-anak-Nya

Dalam ilmu junalistik, unsur konflik merupakan salah satu kriteria suatu peristiwa layak diberitakan. Setiap hari kita disuguhi berita-berita yang mengandung konflik seperti peperangan, pertikaian kelompok, kerusuhan, saling hujat, penganiayaan dan sebaginya. Memang dalam menyajikannya, para jurnalis sedapat mungkin mengikuti kaidah jurnalistik seperti keberimbangan, obyektifitas, akurasi, faktual, dan sebagainya. Akan tetapi ternyata peliputan konflik dengan kaidah jurnalistik klasik ini tidak tepat. Mengapa? Karena justru melestarikan konflik.
Teori jurnalistik klasik mengajarkan bahwa tugas para jurnalis adalah "melaporkan fakta apa adanya." Fungsi pers semata-mata menjadi cermin atas realitas dalam masyarakat. Namun dalam dunia yang semakin peka media (a media-savy world) ini, banyak orang yang mahir mengemas fakta untuk dijadikan bahan berita oleh jurnalis. Kelompok-kelompok yang bertikai sudah itu menyadari pentingnya strategi bermedia dalam memperjuangkan kepentingan mereka.
[block:views=similarterms-block_1]Padahal fakta-fakta yang disodorkan oleh suatu kelompok yang diberitakan oleh jurnalis ini akan menyulut reaksi kelompok lain. Dengan dalih menggunakan hak jawab, kelompok lain akan menanggapi berita yang dianggap "merugikan" kelompoknya. Demikian seterusnya sehingga media terjebak dalam "lingkaran reaksi" (feedback of loop). Media menjadi sarana tarik-menarik kepentingan pihak-pihak yang bertikai. Berdasarkan hal ini, kemudian muncul pertanyaan etis: "Apa yang bisa dilakukan oleh pers dalam memutus lingkaran setan ini dan mendukung terjadinya perdamaian?" Media tidak boleh hanya menonton saja, tetapi harus berbuat sesuatu dalam mendukung upaya perdamaian. Kegelisahan para jurnalis ini menghantarkan mereka pada paradigma alternatif, yaitu jurnalisme perdamaian.
Sumber Konflik
Dalam berbagai liputan selama ini kata "konflik" sering diasosiasikan dengan "kekerasan." Padahal keduanya berbeda. Konflik bisa bermakna positif dan konstruktif apabila dikelola secara efektif dan beradab. Menurut Peter du Toit, konflik bisa terjadi karena adanya perebutan sumber-sumber yang terbatas, stereotype, ketiadaan dialog, ketidak-percayaan, hal yang tidak terselesaikan di masa lalu, kekuasaan yang tidak terbagi rata atau tiadanya penghargaan di antara kelompok masyarakat.
Konflik selalu ada. Manusia hidup selalu berkonflik. Konflik ada di alam dan hadir dalam kehidypan manusia. Konflik selalu mempunyai dua sisi, yaitu risiko dan peluang. Konflik dapat menciptakan energi yang bersifat destruktif, tetapi bisa juga kreatif. Ibarat gesekan, konflik dapat menimbulkan api yang melalap semua yang berharga tetapi, juga bisa menghasilkan bentuk batu yang indah.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana masyarakat menyelesaikan konflik itu. Dalam berbagai konflik yang diliput jurnalis, seringkali penyelesainnya mengarah ke hasil menang-kalah (win-lose solution). Dalam penyelesaian ini, ada kelompok yang lebih diuntungkan dibandingkan kelompok yang lain. Memang untuk sementara upaya ini bisa menghentikan pertikaian, tapi sebenarnya seperti menyimpan bara dalam timbunan sekam. Sebab pihak yang dirugikan menunggu kesempatan untuk membalas lagi. Dalam pendekatan ini, perdamaian = kemenangan + genjatan senjata.
Inilah yang disebut Johan Galtung (1998) sebagai jurnalisme perang. Jurnalisme perang, kata Galtung cenderung terfokus pada kekerasan sebagai penyebabnya dan enggan menggali asal-usul strutural sebuah konflik itu secara mendalam. Jurnalisme perang terlampau terkonsentrasi pada efek-efek yang terlihat, seperti korban tewas atau terluka, kerusakan material yang kelihatan, bukan kerusakan psikologis, struktur atau budaya.
Jurnalisme perang mereduksi pihak-pihak yang berkonflik menjadi dua dalam polarisasi "lawan-kawan." Mereka cenderung menjelek-jelekkan pihak "lawan" dan mengangungkan pihak "kawan." Bukankah pendekatan ini juga banyak kita temui dalam media Kristen? Apalagi akhir-akhir ini, ada banyak orang Kristen dan gereja yang mengalami penganiayaan. Dalam menulis berita perusakan gereja, misalnya, jurnalis Kristen lebih menonjolkan tingkat kerusakan yang kelihatan atau jumlah korban yang ada. Pemberitaan seperti ini tidak akan pernah mencerdaskan pembaca (orang Kristen) karena hanya memuaskan selera keingin-tahuan. Yang terjadi justru lestarinya prasangka orang Kristen terhadap kelomppok-kelompok yang dianggap menentang kekristenan di tanah air ini.
Jurnalisme Perdamaian
Sebagai antitesis dari jurnalisme perang, hadirlah Jurnalisme Perdamaian. Apa itu jurnalisme perdamaian? Menurut Annabel McGoldrick dan Jake Lynch (2000), Jurnalisme Perdamaian (JP) melaporkan suatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi. Tugas utamanya adalah memetakan konflik, mengidentifikas pihak-pihak yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan mereka. Pendekatan JP adalah memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan. Prinsip ini disederhanakan dengan rumus Perdamaian= Non-kekerasan + kreatifitas.
Dalam JP, penyelesaian konflik yang dipakai adalah pendekatan menang-menang (win-win soluttion) dengan memperbanyak alternatif-alternatif penyelesaian konflik. Dalam hal ini peran pers menurut Abdul Razak dalam Jurnal Pers Indonesia (no.4/1997) adalah menggambarkan situasi dan merumuskan realitas. Rumusan ini mempengaruhi persepsi, reaksi dan pilihan solusi. Pers bukan sekadar media penyampai informasi, melainkan juga membangun debat publik yang sehat tentang kepentingan umum. Peran pers di sini adalah dengan merumuskan (1)masalah, (2)penyebab, (3)alternatif penyelesaian, (4)evaluasi alternatif, (5)pilihan alternatif tebaik, (6)sistem dan mekanisme pelaksanaan, (7) evaluasi dan feedback.
Dengan strategi menelusuri akar konflik ini, para jurnalis berusaha menghindari menyalahkan salah satu pihak sebagai penyebab konflik. Yang mereka lakukan adalah dengan memaparkan masalah yang sebenarnya, dampak yang telah ditimbulkannya, lalu menawarkan alternatif penyelesaiannya.
Peluang Media Kristen
Memang untuk mewujudkan JP ini bukan pekerjaan yang mudah, bahkan cenderung rumit. Bagaimana tidak, sebab di sini berita-berita lempang (straight news) saja tidak cukup. Untuk menjelaskan dan menelusuri urat-urat konflik memerlukan waktu yang lebih lama dan ruang yang lebih banyak. Dalam jurnalistik bentuk tulisan seperti ini dinamakan jurnalisme interpretatif.
Padahal dalam tingkat persaingan antar media yang sengit sekarang ini, setiap media harus bisa "berteriak" mengatasi media-media lain. Caranya bermacam-macam. Bisa dengan penyajian yang lebih cepat, sudut pemberitaan (news angle) yang menarik, perwajahan yang ciamik dan judul-judul yang sensansional. Bagi media Kristiani yang kebanyakan kristiani terbit bulanan, rentang waktu yang lama ini dapat menjadi peluan untuk menerapkan prinsip JP. Pengelola media kristiani punya kesempatan banyak untuk menyiapkan reportase yang analistis, holistik dan tajam.
Memang tulisan-tulisan seperti ini kalah laris dibandingkan dengan berita-beriuta sensansional yang terdapat dalam tabloid. Namun situasi konflik yang melibatkan sebagian umat Kristen, pendekatan JP masih (atau semakin) relevan dalam membawa suara-suara kenabian. Sikap ini yang diambil wartawan Kompas, Maria Hartiningsih:" Setiap jurnalis mempunyai ideologi, demikian juga saya. Ideologi saya adalah memberi sumbangan pada perdamaian dan keadilan ¦Yang mednorong saya untuk berbuat sesuatu dalam tugas jurnalistik saya, yaitu ketika saya melihat banyak orang tidak bersalah yang jadi korban. Terutama kaum perempuan dan anak-anak itu telah memberi semangat saya untuk memberi sumbangan pada proses rekonsiliasi di negeri ini." Berbahagialah jurnalis yang membawa damai.

Penulis : Purnawan Kristanto

Komentar