Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

John Foxe

John Foxe merupakan salah satu penulis paling berpengaruh pada era Reformasi Inggris (periode ketika Gereja Inggris melepaskan diri dari otoritas Paus - Red.). Dalam kurun waktu 40 tahun, antara tahun 1547 hingga saat kematiannya, ia menghasilkan sekitar 40 karya tulis dalam bahasa Inggris dan Latin. Namun, ketika ia masih hidup dan sesudah ia meninggal, ia lebih dikenal melalui salah satu karyanya, The Acts and Monuments of the English Martyrs. (Kisah-Kisah dan Monumen-Monumen dari Para Martir Inggris - Red.)

Gambar: John Foxe

Foxe mulai menulis buku The Acts and Monuments pada masa pemerintahan Raja Edward VI (r. 1547-1553) sebagai sebuah pembelaan atas gerakan Reformasi dari sisi sejarah, yang sejalan dengan pemikiran dalam buku The Image of Both Churches, yang diterbitkan di Kota London pada tahun 1545, oleh temannya, John Bale. Melalui buku tersebut Foxe menggambarkan sejarah gereja sebagai pergulatan besar antara kekuatan Kristus dan anti-Kristus, dengan kaum Protestan sebagai inkarnasi gereja yang sejati. Karya ini sempat terhenti, dan Foxe harus lari ke pengasingan menyusul berkuasanya Ratu Mary yang beragama Katolik (r. 1553-1558) (Ratu Mary melakukan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen Protestan pada masa itu, - Red.). Akibatnya, ia terdorong untuk menerbitkan karyanya lebih awal, dan buku berjudul Commentarii Rerum in Ecclesia Gestarum (buku tentang para martir Inggris - Red.), yang diterbitkannya di Strasburg pada tahun 1554, hanyalah sebagian dari tulisan yang ia terbitkan pada saat itu. Meskipun buku ini hendak menjabarkan karya Roh Kudus sejak abad ke-14, sebagian besar isinya membahas tentang kaum Lollards di Inggris (The Lollards adalah pengikut dari tokoh John Wycliffe yang hidup di Inggris antara akhir tahun 1300 hingga awal tahun 1500 - Red.)

Penganiayaan yang mulai terjadi di Inggris pada Januari 1555 mengubah agenda Foxe. Teman-teman dan rekan-rekannya sendiri (kaum Protestan - Red.) menjadi korban penganiayaan. Foxe merasa sangat marah, tidak hanya karena penyebab kematian mereka--yang patut memperoleh keadilan--tetapi juga karena kekejaman itu terjadi begitu dekat dengannya (yang berada di pengasingan - Red.). Akan tetapi, rencananya tidak serta-merta berubah. Pada tahun 1559, di Kota Basel, ia menghasilkan sebuah karya, hasil pengembangan karya buatannya sendiri yang diberi judul Rerum in Eccesia Gestarum, yang sebagian besar isinya memuat daftar korban-korban penganiayaan yang baru saja terjadi di Inggris.

Menyusul pergantian kepemimpinan pada Ratu Elizabeth (r. 1558-1603), dan karena munculnya atmosfer dan kesempatan yang baik ketika ia berkuasa, Foxe mengalihkan perhatiannya pada beberapa peristiwa kelam yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Karena dibujuk oleh temannya, Edmund Grindal, dan sebagian karena desakan seorang tukang cetak, John Day, ia menulis kisah para martir dalam bahasa Inggris. Sesudah itu, Foxe tidak hanya berusaha membela gerakan Reformasi Inggris dan membersihkan nama para korban penganiayaan, tetapi juga mendukung gerakan baru Protestantianisme, yang didukung oleh Ratu Elizabeth, sekuat tenaga. Pembelaannya itu ia tuangkan, salah satunya melalui buku The Acts and Monuments, yang diterbitkan di London pada tahun 1563.

Buku The Acts and Monuments ia mulai dengan bab berjudul "Unbinding the Satan" (Pelepasan Setan - Red.), yang ia sebut mulai berlangsung pada akhir abad ke-13. Dalam buku ini, ia melukiskan penganiayaan yang dialami "orang-orang kudus"--istilah yang sering dialamatkan kepada kaum Protestan Inggris pada zamannya. Ia menulis buku itu dengan memberi referensi khusus pada negara Inggris, dan memfokuskan narasinya pada masa pemerintahan Ratu Mary. Buku yang sangat tebal ini, yang terdiri lebih dari 1800 halaman folio, memberi dampak yang meluas karena dokumentasinya yang lengkap dan penjabaran topiknya yang dramatis. Foxe mendapat banyak kritikan tajam, tetapi pada saat yang sama, juga memperoleh narasumber baru bagi tulisannya melalui kesaksian teman-teman dan keluarga-keluarga para korban penganiayaan. Begitu selesai, karya besar ini menjadi warisan paling bernilai dari kehidupannya.

Dia menulis edisi-edisi terbaru The Acts and Monuments of the English Martyrs pada tahun 1570, 1576, dan 1583, dan masing-masing karya itu ditulis untuk tujuan yang berbeda. Pada tahun 1563, ia menjadi pribadi yang berpandangan superlatif, senang mengagung-agungkan sesuatu; ia menyebut Ratu Elizabeth sebagai Kaisar Konstantin yang baru (Kaisar Romawi yang menghentikan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen - Red.) yang mengalahkan kejahatan dan bahwa Allah menunjuk negara Inggris secara khusus untuk mempersiapkan kedatangan-Nya yang kedua. Pada tahun 1570, ia khawatir bahwa para penentang Reformasi belum benar-benar dikalahkan, dan kembali pada niat awalnya menulis karya-karya mengenai penganiayaan terhadap gereja. Pada tahun 1583, ia merasa yakin bahwa semangat Reformasi semakin menguat di Inggris, tetapi masih belum percaya bahwa generasi baru Inggris siap memenuhi panggilan mereka sebagai orang-orang yang terpilih (John Foxe memiliki semangat nasionalisme Inggris yang berpadu dengan iman kekristenannya - Red.).

Foxe meninggal pada bulan April 1587 ketika bukunya menjadi karya bertaraf nasional. Pada tahun 1570, Privy Council mengeluarkan perintah agar buku karya Foxe diberi tempat istimewa di dalam gereja-gereja katedral sejajar dengan Alkitab berbahasa Inggris. Banyak paroki melakukan hal yang serupa walaupun harus mengeluarkan biaya untuk membeli buku itu, yang pada saat itu terdiri dari dua edisi dan memiliki lebih dari 2.000 halaman. Setelah kematian Foxe, buku The Acts and Monuments ditulis kembali dalam versi pendek pada tahun 1589, dan diterbitkan dalam versi lengkap terbaru pada tahun 1596 dan 1610.

Foxe mungkin tidak pernah menyangka bahwa karyanya akan menjadi begitu populer di Inggris. Edisi-edisi lanjutan buku The Acts and the Monuments lebih banyak menceritakan kisah para martir di Eropa daratan, dan pengertiannya tentang kekudusan tidak lagi memandang batas-batas negara. Karyanya menjadi landasan bagi bertumbuhnya nasionalisme kaum Protestan Inggris, dan ditambah peranan pemerintahan Ratu Elizabeth, membuat gerakan Reformasi dapat berakar di Inggris.

Generasi yang hidup setelah Foxe, menggunakan, meringkas, dan menulis kembali karya-karyanya untuk tujuan mereka masing-masing. Pada tahun 1632, edisi lanjutan buku "The Acts and The Monuments" memuat materi baru yang bersifat profetik, yakni tentang penganiayaan yang akan segera terjadi. Hal ini mengubah karya Foxe yang tadinya merupakan pembelaan terhadap gerakan Protestantianisme menjadi sebuah wacana tentang "oposisi yang kudus"; dan dalam hal ini, memberi pengaruh besar pada tokoh-tokoh Kristen puritan, seperti William Prynne, John Bunyan, dan George Foxe. Edisi-edisi The Acts and Monuments berikutnya dirilis pada tahun-tahun penting, yaitu pada tahun 1641 dan 1684. Sementara versi-versi bowdlerised (versi yang telah meniadakan materi yang dianggap tidak patut dan bersifat menyerang - Red.) dan versi adaptasi buku tersebut, yang dirilis pada abad ke-18, terus menekankan pandangan anti-Katolik sepanjang Abad Pencerahan. (t/N. Risanti)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Reformed Reader
Alamat situs : http://www.reformedreader.org/rbb/foxe/biography.htm
Judul asli artikel : John Foxe
Penulis artikel : David Loades
Tanggal akses : 27 Juni 2016

Komentar