Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Dari Kutuk Menjadi Berkat

Tidak ada subjek yang lebih banyak menarik perhatian dalam dunia seni selain salib. Tidak ada subjek yang memberikan lebih banyak inspirasi dalam musik, literatur ataupun drama, selain salib. Tidak ada subjek yang lebih menggugah rasa heroisme dan pengorbanan diri, selain salib Yesus Kristus.

Coba perhatikan, saat kita jalan-jalan di mal, hampir setiap toko aksesori menyediakan kalung atau anting-anting yang berbentuk alat penghukuman mati ala Romawi tersebut. Pemain sepak bola membuat tanda salib sebelum memasuki lapangan. Palang Merah mengadopsi salib sebagai logo mereka.

Gambar: Salib

Salib Kristus dan kebangkitan-Nya telah memulai suatu iman baru di luar Yudaisme. Salib Kristus yang kosong itulah yang telah menggerakkan banyak utusan Injil untuk pergi ke segenap penjuru dunia, kepada setiap suku, dan telah menarik lebih banyak pengikut daripada agama lainnya di dunia. Salib telah memberikan dampak yang sangat besar dalam bidang pendidikan, medis, dan pembebasan dari ketidakadilan, di tempat di mana Injil diberi kesempatan untuk disebarkan. Salib telah menjadi lambang resmi kekristenan sejak zaman Konstantin.

Salib sesungguhnya bukanlah milik kekristenan secara unik. Hampir setiap budaya dari zaman batu hingga sekarang, juga menggunakan simbol ini dalam bentuk yang beraneka ragam. Di China, Mesir, dan India lambang ini digunakan dalam bentuk swastika. Akan tetapi, mengapa khusus salib Kristus ini yang memberikan dampak begitu besar dan telah menjadi lambang yang bersifat universal?

Bagi orang Romawi, penyaliban adalah bentuk hukuman mati paling kejam dan hanya untuk pembunuh, budak yang memberontak, dan untuk kejahatan besar lain di daerah koloni mereka. "Gagasan tentang salib tidak boleh ada di tengah warga negara Romawi," kata Cicero, "itu tidak boleh melintas dalam pikiran, penglihatan, atau pendengaran mereka." Warga negara Romawi sendiri jika berbuat kejahatan hukumannya adalah dipenggal, bukan disalib.

Bangsa Yahudi juga berpikiran sama -- "sebab seorang yang digantung di salib adalah orang yang dikutuk oleh Allah" (Ulangan 21:23), dan mereka lebih suka melempari dengan batu jika mereka mempunyai kuasa untuk melakukan hukuman itu.

Bagi bangsa Yunani, salib merupakan kebodohan. Seperti yang dikatakan Paulus dalam 1 Korintus 1:22, "bangsa Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang tersalib." Sangat jelas bagi semua orang Yunani bahwa hikmat atau bijaksana terdapat pada hal-hal yang bersifat universal, seperti keindahan, kebenaran, kebaikan, dan kebebasan. Salib sangat tidak mungkin menarik hati para pemimpin intelektual pada zaman itu.

Kalau demikian, bukankah Yesus juga seorang penipu dan penjahat besar? Dia termasuk di antara para penjahat yang matinya di gantung di atas kayu. Dia telah menajiskan tanah sehingga Dia mati di bawah kutukan Allah. Orang Yahudi pun memandangnya demikian. Kekristenan perlu memberikan penjelasan sekuat tenaga untuk menjawab prasangka yang sangat dapat dipahami dari orang-orang zaman ini. Bagaimana caranya? Mungkin kita dapat belajar dari cara Rasul Paulus dan beberapa rekan sekerjanya dalam mempertanggungjawabkan iman percaya mereka.

Mereka menggunakan bahasa tentang kutukan Allah ini: "Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis, "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" (Galatia 3:13) Mereka mengatakan bahwa salib merupakan tempat kutukan. Yesus mati disalib dan menanggung kutukan yang disebabkan dosa manusia yang diwakili-Nya (Galatia 3:10) agar manusia yang menerima-Nya memperoleh pengharapan hidup yang kekal. Dia memang menerima kutukan, tetapi kutukan yang diterima-Nya adalah kutukan yang seharusnya manusia terima. Dia bukan dikutuk karena kesalahan-Nya! Hal ini dibuktikan ketika Allah membangkitkan Dia dari kematian.

"... Terkutuklah setiap orang yang tidak tunduk pada segala sesuatu yang tertulis dalam kitab Hukum Taurat dan melakukannya." (Galatia 3:10, AYT)"

Facebook Twitter Telegram WhatsApp

Salib yang kosong itu telah berubah dari tempat hukuman menjadi tempat berkat. Apakah kita telah merasakan dan menikmati berkat dari salib yang kosong itu? Atau, kita masih mengeraskan dan menutup pintu hati kita bagi Dia, Juru Selamat yang rela mati bagi kita? Bagi kita yang terlebih dahulu menikmati berkat itu, apakah kita sudah membagikannya kepada orang-orang sekeliling kita agar mereka dapat merasakan berkat yang sama yang kita miliki? Apakah kita terlalu egois sehingga berpikir tidak perlu membagikan berkat yang kita miliki ini kepada orang lain?

Audio Dari Kutuk Menjadi Berkat

Diambil dari:
Judul buletin : Shining Star, Edisi 47 April 2003
Penulis artikel : Philip Yancey
Penerbit : GKI Gunsa
Halaman : 4 -- 5
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1989

Komentar