Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Pengarang dan Momentum
Penulis : Wilson Nadeak
Dalam sebuah perjumpaan antara Gayus Siagian dengan Ayip Rosidi, Ayip mengatakan bahwa ia baru sembuh dari sakit. Reaksi Gayus yang spontan, "Sering-seringlah kau sakit!" Mengapa Gayus Siagian bereaksi seperti itu? Soalnya, menurut cerita Ayip, kalau ia sakit, biasanya ia justru menulis kreatif. Di bawah tekanan rasa sakit, Ayip produktif. Maksud Gayus, kalau Ayip sakit, ya banyaklah karyanya. Itu dahulu. Entahlah sekarang.[block:views=similarterms-block_1]
Tidak seorang pun tahu pasti kapan ia menulis kreatif. Ada pengarang malam, ada pengarang siang, ada pengarang subuh, sesuai dengan "mood" dan kebiasaan masing-masing. "Inspirasinya" mengalir sesuai dengan kondisi yang sudah terbentuk dalam kebiasaan pengarang yang bersangkutan.
Salah satu hal yang menarik, momentum untuk pengarang untuk melahirkan karya-karyanya, mereka yang berada di bawah "tekanan." Kondisi yang menekan itu menjadi momentum yang baik baginya untuk melahirkan karya yang otentik, segar, dan menarik. Misalkan, seorang pengarang yang dikejar oleh tenggat waktu (deadline) cenderung akan menyelesaikan karyanya dalam suasana "mood" yang terfokus. Karangan yang hendak diciptakannya itu sudah lama mewujud di dalam benak, tetapi tangan terasa enggan untuk menuangkan ke atas kertas. Ada rasa "enggan" yang bentrok dengan tuntutan waktu, yang "memaksa" pengarang harus melahirkan karangannya. Karena desakan batas waktu, pengarang mencoba "mengalahkan rasa enggannya" dan kemudian menuangkan ide, gagasan, dan ceritanya ke dalam kertas. Begitu ia menulis paragraf awal, kisahnya pun mengalir dengan deras bagaikan sungai yang terbendung yang tiba- tiba meluap dan mengalir secara alamiah. Tekanan waktu, menit-menit yang terakhir, telah membuat ia bebas menuangkan ceritanya.
Tekanan yang lain mendorong seorang pengarang memboboti karyanya ialah masalah ruang yang tersedia. Dalam benak pengarang, mau tidak mau, ia harus menghadapi realitas bahwa jumlah kata yang diperlukan untuk kolom media yang hendak dikiriminya terbatas. Batas itu mungkin antara 1.500 kata sampai 2.000 kata. Haruskah ia menghitung kata setiap halaman yang ditulis? Tentu saja tidak. Pengarang profesional mengetahui betul berapa kata kira-kira dalam satu halaman folio atau kuarto (dengan persyaratan spasi), dan ia harus berpikir keras dalam batas "tekanan" jumlah kata ini. Ia harus menimbang kata yang bernas, menarik, segar, dan menginti. Di sinilah kreativitas seorang pengarang dipertaruhkan. Ia harus melahirkan karya yang utuh dalam ruang yang ada!
Sebagian cerita pendek (cerpen) dan karya pengarang India, Rabindranath Tagore, lahir dalam momentum tekanan "naskah yang kurang" dan terpaksa mengisi majalah yang dipimpinnya dengan cerpen-cerpennya sendiri. Kurangnya naskah yang bermutu dan karena ia pun seorang pengarang yang tidak sekadar mengisi kolom atau halaman yang kosong (demi reputasinya), harus menulis yang bermutu sastra! Energi kreativitasnya dikerahkan secara total untuk mengisi halaman yang harus terbit dan kalau tidak dalam momentum yang demikian, kita tidak akan menikmati sejumlah karya cerpen Tagore!
Inspirasi muncul kapan dan di mana saja, tetapi melahirkannya sebagai karya tulis, adalah soal lain pula. Bukan hanya masalah teknik yang menjadi hambatan bagi seorang pengarang. Seorang pengarang yang sudah "jadi" memiliki tekniknya sendiri yang khas dia, tetapi belum tentu ia dapat mencipta sesuai dengan tekniknya begitu ia memperoleh inspirasi. Inspirasi mengalami sebuah proses dan proses itu berlangsung di dalam benak pengarang. Mungkin kemunculannya yang serta-merta mendorong tangan untuk menulis adalah karena proses yang sudah matang di dalam benak pengarang. Sebuah kisah sudah "menjadi" di dalam benaknya dan sebuah tekanan yang dari luar dirinya mendorongnya menggapai momentum, dan segera melahirkan sebuah karya. Apakah semua yang sudah berbenih dan matang di dalam benak pengarang benar-benar "serupa" ketika lahir sebagai sebuah karya? Tentang hal ini, hanya pengarang yang bersangkutanlah yang tahu, berapa persen yang menyimpang dari kisah yang terdapat dalam benak dalam karya yang tercipta. Hal itu amat bergantung pada "watak" tokoh yang hidup di dalam cerita itu sendiri!
Seorang penulis wanita yang mengalami kesulitan dengan darahnya bahwa setiap tiga bulan ia harus transfusi darah, pada mulanya ia merasa sedih dengan penyakitnya. Setiap kali terbaring di rumah sakit, ia selalu merasa bahwa maut akan segera tiba dan merenggut nyawanya. Tetapi justru penyakit yang dideritanya sejak muda itu mendorongnya menulis dengan penuh rasa totalitas menjelang bulan ketiga. Ia berkejar-kejaran dengan waktu. Begitulah setiap kali menjelang bulan transfusi darah, ia menyelesaikan karangannya. Dari muda sampai usia dewasa, bayang-bayang maut ini selalu mengejarnya dan pada saat yang sama ia melahirkan karya baru. Tiga puluh tahun kemudian, dia masih terus menulis. Sampai kini ia pun masih terus menulis di bawah tekanan maut yang mengerikan itu. Barangkali itulah sebabnya ia menggunakan nama samaran untuk setiap karyanya, Pipiet Senja. Betapapun, ia terus berusaha menghadapi tekanan hari senja yang mungkin datang sewaktu- waktu!
Pengarang dengan momentum yang mendesak, barangkali adalah sebuah sarana bagi jiwa, semacam katarsis, yang mengasah kepekaan jiwa dan membuat totalitas lebih pekat.
Wilson Nadeak Budayawan, Tinggal di Bandung
Bahan dari:
Sumber : KOMPAS, Minggu, 04 Desember 2005
Penulis : Wilson Nadeak
- 3532 reads