Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Kiat Menulis di Media Massa
"Ambisi tidak akan pernah menghasilkan apa-apa sampai ia dipadukan dengan kerja keras." (NN)
Barangkali banyak orang beranggapan menulis di media massa (surat kabar, majalah, tabloid, dll.) itu sulit. Sebaliknya, tidak sedikit yang berpendapat menulis di media massa itu gampang. Tidak mudah untuk menilai mana yang benar, mana yang salah. Sangat boleh jadi keduanya benar. Atau, mungkin yang benar rumusannya: gampang-gampang sulit; atau sulit-sulit gampang. Maksudnya, memang menulis di media massa itu tidak mudah, namun bukan berarti sulit melulu sehingga mustahil orang melakukannya. Kalau orang mau mengakui unsur kesulitannya, mau mendekatinya, bersedia merangkulnya, dan tidak henti-henti menjajalnya, maka lama- lama akan bisa atau terasa menjadi gampang. Sebaliknya, kalau orang beranjak dengan anggapan bahwa menulis di media massa itu gampang, bahkan karenanya lalu menggampangkan (menganggap segalanya gampang, dengan nada congkak), maka justru akan menjadi sulit, karena dia tidak bakal menghasilkan apa-apa, alias berhenti di tempat, stagnan.
Dengan perkataan lain, menulis di media massa bisa menjadi gampang, bisa juga menjadi sulit, tergantung bagaimana masing-masing orang menganggap atau menyikapinya. Satu hal yang pasti, memang tidak mudah mengubah yang sulit menjadi gampang dalam sekejap. Membutuhkan proses panjang dan waktu yang tidak sebentar. Mereka yang kini berhasil menulis di media massa dengan gampang pasti pernah mengalami kegagalan, menjumpai kesulitan, atau melewati masa-masa sulit. Kemudahan yang didapatnya bukan hadiah gratis yang jatuh dari langit bak durian runtuh, melainkan hasil kerja keras puluhan atau belasan tahun yang tidak mengenal berhenti, alias kontinu. Kecuali itu, juga berkat kemauan untuk membekali diri dengan perlengkapan yang memadai berupa teknik penulisan, serta kejelian mencari bahan untuk dijadikan isi atau muatan tulisannya. Ketiganya: teknik penulisan, isi, dan kontinuitas, adalah hal-hal yang tidak boleh dilewatkan kalau orang mau berhasil menulis di media massa. Ketiganya adalah hal-hal yang harus diakrabi.
Teknik Penulisan
Menulis di media massa bisa diibaratkan seorang prajurit yang maju ke pertempuran. Dia harus terjun di medan yang sulit dan berat: lembah ngarai luas serasa tak berbatas, belantara lebat, tanah becek berawa-rawa, bukit terjal dan jurang curam, sungai dalam berair deras, atau padang rumput yang luas terbuka. Agar mampu menguasai medan dan dapat menaklukkan musuh, dia harus membekali diri dengan pengetahuan yang memadai tentang topografi dan karakter medan; serta perlengkapan dan senjata yang nyaris lengkap, seperti: senapan laras pendek, senapan laras panjang, granat tangan, belati atau sangkur untuk pertempuran jarak dekat, dan sebagainya.
Perlengkapan dan senjata perang itu digunakan satu per satu secara taktis seturut kebutuhan agar tercapai hasil maksimal. Demikian pula halnya dengan penulis. Agar bisa menembus media massa dan menenggerkan tulisan di sana, dia harus (bukan hanya seharusnya) membekali diri dengan pengetahuan yang memadai tentang medan, yakni: jenis media dan komunitas pembaca; serta perlengkapan dan senjata yang memadai nyaris lengkap berupa teknik-teknik penulisan.
Jenis media, demi mudahnya, dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yakni: media umum dan media khusus. Masing-masing jenis sudah barang tentu memiliki ciri-ciri dan karakter yang berbeda. Media umum, seturut statusnya, bersifat umum, memuat hal-hal yang umum (apa saja bisa masuk), dan ditujukan kepada pembaca umum (siapa pun: tanpa batasan usia, jenis kelamin, ras, agama, status sosial, dsb.). Karena statusnya yang demikian itu, media jenis ini pada umumnya memacak tulisan yang sederhana dan lugas, sehingga bisa diterima siapa pun.
Sebaliknya, media khusus, seturut statusnya yang khusus itu, bersifat khusus, memuat hal-hal yang khusus (misalnya: ilmu pengetahuan populer, interior, otomotif, keagamaan, dsb.), dan ditujukan kepada pembaca yang khusus pula (pemuda: cowok-cewek; wanita dewasa; anak-anak; orang lanjut usia, kelompok hobi; komunitas keagamaan; dsb.). Karena statusnya yang demikian, kecuali menuntut topik-topik khusus, media ini juga menuntut gaya tulisan atau gaya bahasa khusus pula, yang khas.
Gaya bahasa untuk media massa yang ditujukan kepada pemuda-pemudi, misalnya: boleh sedikit bebas, longgar dari hukum-hukum ketatabahasaan, menggunakan idiom-idiom atau istilah- istilah yang populer di kalangan remaja -- yang lazim disebut "bahasa gaul", dan agak "norak". Sedangkan tulisan yang ditujukan kepada pembaca wanita dewasa, kecuali menampilkan tema di seputar kewanitaan, juga disarankan menggunakan bahasa yang sedikit berbunga-bunga, banyak kiasan, dan ... jangan lupa, romantis. Sementara itu, tulisan untuk majalah teknologi, yang kebanyakan dibaca oleh para teknokrat dan teknisi, selayaknya kalau menggunakan gaya bahasa yang logik-matematik, tanpa banyak bunga-bunga, singkat- padat, "to the point".
Sebelum memulai, penulis harus tahu betul jenis media dan karakter pembaca yang disasar oleh media itu. Tanpa mengenali kedua hal ini, tulisannya hampir bisa dipastikan bakal ditolak. Topik yang pas buat wanita dewasa dengan gaya bahasa yang sangat bagus, misalnya, akan dimasukkan ke keranjang sampah oleh redaktur manakala tulisan itu dikirimkan ke sebuah media umum yang tidak memiliki rubrik kewanitaan. Kerja kerasnya menjadi sia-sia alias mubazir.
Kecuali dituntut untuk mengenali jenis media dan karakter pembaca yang disasar, penulis harus (sekali lagi, bukan hanya seharusnya) memiliki keterampilan yang memadai berwujud teknik-teknik penulisan. Dia, bukan saja sebatas harus bisa membedakan antara berita, feature, dan artikel, melainkan lebih dari itu, harus bisa menulisnya dengan sempurna karena tahu dan menguasai teknik-teknik penulisannya dengan baik (menguasai kaidah-kaidah kebahasaan) dan benar (menguasai kaidah-kaidah jurnalistik).
Isi atau Muatan
Keberhasilan menulis di media massa diawali dengan pemilihan isi atau muatan tulisan. Kecuali mempertimbangkan jenis media dan sasaran komunitas pembaca (lihat uraian di atas), isi atau muatan tulisan harus mengandung pesan yang kuat, relevan, dan menarik. Isi atau muatan tulisan itu harus mengandung pesan yang kuat karena menyodorkan ide atau gagasan alternatif; relevan, karena cocok dengan isu hangat yang tengah berlangsung; dan menarik, karena menggugah atau menggelitik keingintahuan pembaca.
Isi atau muatan tulisan itu bisa diperoleh di mana saja, dan kapan saja. Atau mendapat inspirasi dari mana saja. Umumnya, isi atau muatan tulisan diperoleh dari peristiwa sehari- hari. Entah dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau seni. Isu "gender" menjelang Pemilu 2004, yang melahirkan gagasan untuk menampilkan anggota legislatif wanita sebanyak minimal 30% dari seluruh jumlah anggota legislatif di DPR, misalnya, bisa menjadi isi yang relevan dan menarik. Dengan mengetengahkan ide atau gagasan alternatif, yang tidak sekadar mengulang-ulang ide atau gagasan orang lain yang sudah kerap dikemukakan, penulis bisa menjadikan isi itu memiliki pesan yang kuat.
Masih di sekitar bidang politik, isu politisi busuk yang dilansir oleh beberapa tokoh atau komponen masyarakat juga merupakan bahan menarik untuk dijadikan isi atau muatan tulisan. Setelah yakin bahwa tema di seputar isu ini cukup relevan, menarik, dan ada pesan kuat yang akan disampaikan, media dan pembaca yang disasar jelas, fakta dan data-data yang terkumpul cukup memadai, penulis bisa mulai merancang model tulisan. Dia bisa sekadar memberitakannya, sehingga karyanya menjadi sebuah berita. Dia bisa menulisnya sebagai sebuah berita, namun dengan mendalam dan dengan sentuhan manusiawi, sehingga lahirlah sebuah tulisan khas atau feature. Kecuali itu, dia juga bisa mengemukakan analisis, penilaian, kesetujuannya atau ketidaksetujuannya dengan segala argumentasi, dan akhirnya menyodorkan ide atau gagasan alternatif, sehingga lahirlah dari tangannya sebuah artikel yang berbobot.
Kontinuitas
Ada orang yang berpendapat bahwa menulis itu bukan masalah bakat, apalagi warisan atau keturunan, melainkan masalah kemauan dan kesetiaan. Yang lain lagi berpendapat, menulis adalah ramuan yang terdiri dari 1% bakat dengan 99% kerja keras dan semangat pantang menyerah. Barangkali tidak sepenuhnya pendapat ini benar. Namun, juga tidak salah. Sebab kenyataan menunjukkan tidak sedikit penulis yang lahir bukan dari keluarga penulis. Kemahirannya didapat dari kebiasaan, kesabaran, ketekunan, dan keuletan untuk terus-menerus mencoba dan mencoba, menulis dan menulis.
Demikianlah hendaknya yang harus dilakukan orang kalau dia ingin tulisannya terpacak di media massa. Dia tidak boleh hanya merasa puas dengan sekali dua kali menulis. Apalagi kemudian patah arang atau putus asa kalau tulisannya tidak dimuat. Bila tulisannya yang kelima belum berhasil dipacak, dia harus mengirimkan tulisan keenam. Bila di suatu media massa tulisannya ditolak, dia bisa mencoba mengirimkan ke media massa yang lain. Bila model artikel tulisannya belum berhasil menembus suatu media, dia harus mengubah model tulisannya, misalnya, menjadi tulisan khas atau feature.
Demikian seterusnya, sampai redaktur merasa "jengkel", karena nama penulis itu melulu yang selalu muncul, atau "tidak tega menolak", atau alasan lain yang berbau belas kasihan, kemudian bersedia meloloskannya. Tidak mengapa. Sebab, alasan-alasan bernada permisif-sinis menyakitkan hati ini pada suatu ketika tidak mustahil akan berubah menjadi sambutan dengan penuh sukacita. Sehingga, begitu nama penulis itu muncul, dengan serta merta redaktur akan menyambutnya dengan tangan terbuka dan anggukan tanda setuju untuk meloloskannya, karena nama penulis itu telah akrab di mata dan hatinya.
Singkat kata, bagi penulis yang ingin tulisannya terpacak di media massa, dengan kata lain berhasil, hendaknya membuang jauh-jauh sikap patah arang, semangat cepat menyerah, dan hasrat untuk berputus asa dari lembaran hidupnya. Hendaknya dia gantikan dengan kesetiaan yang tahan uji untuk terus-menerus menulis, konsisten pada cita-cita atau tujuan yang ingin dicapai, serta disiplin pada rencana yang sudah dibuat -- rencana menulis. Baik kiranya kalau dia goreskan, bukan hanya pada dinding kamar kerjanya, melainkan di dalam sanubarinya semboyan: Tiada hari tanpa menulis!
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku | : | Menulis di Media Massa Gampang! |
Penulis | : | St. S. Tartono |
Penerbit | : | Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta 2005 |
Halaman | : | 1 -- 6 |
- 5611 reads