Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Pojok Bahasa

Bahasa takkan pernah lepas dari wacana politik. Memilih memakai bahasa atau kata-kata tertentu, menekankan pengertian tertentu atas kata, bahkan memakai dialek tertentu tak lain dari berpolitik dalam maknanya yang paling dalam dan luas. Apabila disepakati bahwa sebagian tindakan manusia, termasuk tindakan-tindakan politik, dilakukan lewat dan dipengaruhi oleh penggunaan dan artikulasi kebahasaan, sudah sewajarnya apabila bahasa menempati posisi penting dalam telaah ilmu politik dan sosial.

"Wahai pemuda Indonesia, jika Tuanku Abdul Rahman bertanya kepadamu, 'Berapa jumlah pemuda Indonesia?' jawablah: 'Satu!'" Demikian gelegar pidato Bung Karno saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia. Jawaban "Satu!" yang diberikan Bung Karno tentu bukan karena beliau malas menghitung berapa persisnya jumlah pemuda Indonesia saat itu. Juga bukan berarti Bung Karno kalah soal berhitung dibanding Rhoma Irama, hanya karena Bang Haji melantunkan "Seratus tiga puluh lima juta/Penduduk Indonesia ...."

Malam minggu ini, saya menemukan tayangan waras dari Metro TV, yaitu Idenesia; Ide untuk Indonesia yang dipresenteri Yovie Widiyanto, seorang musisi berkualitas dari Indonesia yang ternyata punya kemampuan mengarahkan acara dengan bagus. Tidak menyangka saya. Tayangan yang baru saya sadari itu membahas tentang bahasa baku Indonesia dengan tema, kalau tidak salah "Bahasa Indonesia Bisa Juga Gaul".

Kadang-kadang, ketika mendengar pertanyaan seperti: "Apa sih sebenarnya perpustakaan itu?" Jawaban paling sederhana yang sering diutarakan beberapa orang yang saya temui adalah gudang buku, tempat membaca, atau taman bacaan. Namun, ada pula pihak-pihak yang lebih maju, yang mengatakan bahwa perpustakaan adalah institusi yang memfasilitasi terjadinya interaksi ilmu pengetahuan dan dikelola dengan sistem yang baku.

Bahasa menentukan otoritas intelektualitas saat Indonesia menapaki abad ke-20. Kartini memilih bahasa Belanda untuk memasuki pengembaraan intelektual, mencari dan menemukan keajaiban-keajaiban modernitas. Bahasa Belanda menjadi berkah, membentuk identitas dan kehendak menjadi intelektual. Buku-buku berbahasa Belanda ibarat bacaan keramat. Kartini memang perempuan Jawa, hidup di Jawa, dan bersama orang-orang Jawa. Pesona tak muncul dari bahasa Jawa, bahasa lawas dan misterius.

Ketika membaca sebuah berita di lembaran "Kabar Jabar" koran Republika terbitan 26 Desember 2012 halaman 26, saya dihentikan oleh sepotong kata: rutilahu. Saya balik ke awal. Ternyata "rutilahu" itu akronim dari rumah tidak layak huni.

Contoh akronim

Akhirnya, semak hati (bingung, -red.) [saya] menjumpai dan membaca naskah dengan judul bermuatan singkatan asing seperti "CPO", "CSR", dan "MDGs" kiriman penulis artikel untuk diterbitkan di koran. Inilah bukti bahwa dengan satu gerak globalisasi, bahasa Indonesia bertarung dengan bahasa Inggris. Bertarung bukan dalam medan bahasa, melainkan dalam modal, perbankan, perdagangan, komunikasi, komputer, perdapuran, dan lain-lain. Di situ, bahasa dipertaruhkan.

Istilah pembangunan bangsa tidak hanya berkaitan dengan pembangunan di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang politik, sosial, dan budaya. Ada tiga hal yang harus diperhatikan. Hal pertama yang paling penting adalah kemampuan kita untuk berkomunikasi dengan satu sama lain. Semakin kita jauh dari proklamasi tahun 1945, mengharuskan kita untuk senantiasa memperkaya kosakata bahasa Indonesia karena permasalahan kita semakin banyak dan kompleks sifatnya.

Dari hasil persentase wawancara yang telah penulis lakukan di lingkungan kampus, penulis menemukan bahwa pengaplikasian bahasa baku masih sangatlah rendah. Rata-rata mahasiswa cenderung menggunakan bahasa nonbaku dan bahasa daerah.

Ketika saya mengikuti bakti sosial di salah satu kecamatan di Gunung Kidul, seorang staf kelurahan tidak dapat lagi mengatakan ruang atau tempat, bisanya mengucapkan "spis" (mungkin sering mendengar orang mengucapkan kata Bahasa Inggris "space"). Lantaran globalisasi dan internasionalisasi, menyatakan Sekolah Dasar saja sampai lupa, bisanya "elementary school". Apakah ini pertanda kemajuan atau keterjajahan bahasa kita? Mengatakan bon-bin (kebon binatang) saja sudah susah, bisanya cuma 'zoo'.

Pages

Komentar