Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

11 Fakta Mengenai Pramoedya Ananta Toer

1. Pendidikan

Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP). Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik. Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima.

2. Asmara

Pramoedya Ananta Toer

Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka mereka sampai sekarang.

3. Penjara

Penjara adalah tempat yang cukup akrab dengan kehidupan Pram. Dalam tiga periode (zaman Belanda, Orde Lama dan Orde Baru), ia selalu sempat mencicipi penjara. Alasannya pun beragam, mulai dari keterlibatannya dalam pasukan pejuang kemerdekaan pada zaman penjajahan Belanda, masalah bukunya "Hoa Kiau di Indonesia" yang merupakan pembelaan terhadap nasib kaum Tionghoa di Indonesia namun tidak disukai pemerintah Orde Lama, sampai akibat tuduhan terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 oleh rezim Orde Baru yang dijalani tanpa melewati proses peradilan. Namun justru di dalam penjara itulah, lahir beberapa karyanya, termasuk masterpiece "Tetralogi Buru" dan juga roman "Arus Balik".

4. Tetralogi Buru

"Tetralogi Buru" (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) adalah karya yang ia buat selama masa pembuangan di Pulau Buru. Seri novel yang mengisahkan tentang Minke, yang pada dasarnya adalah kisah hidup seorang jurnalis pribumi Indonesia pertama R.M. Tirto Adi Soerjo, itu pada awalnya dikisahkan secara lisan kepada sesama tahanan di Buru karena tidak adanya fasilitas alat tulis. Titik terang mulai muncul 10 tahun kemudian saat Pram yang selalu berada di bawah sorotan dunia internasional (yang karenanya membuat ia tidak mengalami siksaan seberat tahanan lain, meski gendang telinganya tetap rusak akibat siksaan aparat) mendapat sebuah mesin tik kiriman penulis Prancis Jean Paul Sartre. Namun, mesin tik yang masih baru itu sendiri tak pernah sampai ke tangannya, Angkatan Darat malah menggantinya dengan mesin tik bobrok, yang pitanya harus dibuat sendiri oleh para tahanan itu dengan bahan seadanya. Karya Tetralogi Buru juga hampir saja tak dapat diselamatkan seperti banyak karya-karya Pram lainnya yang dibakar oleh tentara. Tetapi jasa-jasa orang asing seperti seorang pastor Jerman dan seorang warganegara Australia bernama Max Lane yang berhasil menyelundupkan keluar dan akhirnya menerbitkan Tetralogi Buru itu di luar negeri. Tak heran jika Pram pernah berkata, "Karya saya sudah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negeri Indonesia."

5. Pandangan dan Ideologi

Berbeda dengan pemerintah Orde Baru yang menudingnya sebagai komunis, Pram sendiri mengaku bahwa ia tak pernah memihak ideologi apapun. Ia selalu mengatakan bahwa ia hanya berpihak pada keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Pramisme, demikian katanya jika ditanya tentang ideologi yang dianutnya. Walau demikian, dalam berbagai kesempatan, ia sering mengatakan bahwa salah seorang tokoh yang paling ia kagumi adalah Bung Karno. Meski begitu, Bung Karno sendiri tidak begitu menyukai Pram. Bermula ketika Pram menghadap Bung Karno untuk membicarakan mengenai hidup para seniman, Pram mengatakan bahwa akan baik jika diadakan konferensi pengarang Asia Afrika. Usul itu disambut oleh Presiden dan ia pun lantas menunjuk Pram sebagai ketua panitianya. Pram menolak dan mengatakan kalau saat ini ia masih terlalu sibuk. Penolakan ini membuat Bung Karno marah. Sejak itu Bung Karno pun tak pernah menyukainya, ia menganggap Pram sebagai sosok yang angkuh.

6. Sejarah

Dalam banyak tulisannya seperti novel "Arok Dedes", "Tetralogi Buru", "Di Tepi Kali Bekasi", "Jalan Raya Pos Jalan Daendels", dll., Pram terbukti sebagai seorang sejarawan handal yang menawarkan cara pandang sejarah yang berbeda. Sementara sejarah yang ada selama ini menurutnya hanyalah sejarah para penguasa dan peperangan, ia pun selalu berusaha memotret dan menggali sejarah dari sudut pandang rakyat dan kaum jelata. Saat ini, ketika kesehatan membuatnya tak dapat menulis lagi, kegiatannya adalah mengumpulkan kliping untuk proyek ensiklopedia Nusantara yang tebalnya bahkan telah mencapai 4 meter! Proyek itu sendiri rencananya akan mulai dikerjakan dengan uang honor yang akan diterima jika ia menerima penghargaan Nobel.

7. Nobel

Selain berkali-kali dinominasikan untuk meraih penghargaan Nobel Sastra, sampai saat ini, telah berbagai penghargaan ia terima dari banyak penjuru dunia. Dari penghargaan Ramon Magsaysay di Filipina yang sempat menimbulkan polemik di Indonesia sampai Pablo Neruda Award di Chili. Mengenai belum berhasilnya ia merebut Nobel Sastra itu, seorang tokoh sastra Indonesia pernah mengatakan bahwa sebenarnya dahulu Pram pernah hampir dapat meraih penghargaan tersebut, sebelum seorang tokoh yang berpengaruh di Indonesia mendatangi juri-juri penilai nobel tersebut dan membisikkan kalimat "Pramoedya is ...."

8. Reputasi Internasional

Sekitar 200 buku Pram telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa: dari Yunani, Spanyol, Belanda, Jerman, Korea, Jepang, Turki, sampai bahasa Malayalam -- suatu bahasa etnis di India. Dari pameran sampul karya Pram yang baru-baru ini diadakan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, banyak sampul depan terjemahan ini memakai aksara non-Latin, seperti aksara Thailand, Turki, Jepang, Korea, Rusia. Dari semua ini, terjemahan novel Pram ke bahasa Rusia memang paling awal. Sebelum karya berjudul "Sekali Peristiwa di Banten Selatan", pada tahun 1957 misalnya telah terbit edisi Moskwa untuk karya berjudul "Cerita dari Blora", dan kemudian pada 1959 terbit "Cerita dari Blora" dalam bahasa Turkmengozidat, Ashkabad. Tahun 1962 juga terbit "Na Brehu Reky Bekasi", yang merupakan edisi Chek untuk "Di Tepi Kali Bekasi.

9. Panjang Umur

Apa resep rahasia panjang umur menurut Pram? Sering tersenyum, atur pernafasan, makan bawang putih dan minum anggur merah, demikian yang selalu dikatakan Pram di berbagai kesempatan. Sebelum terkena serangan stroke pada tahun 2000, karena terpengaruh kebiasaannya selama berada di Pulau Buru, Pram selalu menghabiskan waktu dan menjaga kesehatannya dengan mencangkul. Sedikit bergurau waktu itu ia mengatakan bahwa mungkin ia tak akan hidup sampai selama ini jika tak menjalani kamp kerja paksa di Buru. Namun di luar semuanya, memang tak ada yang tahu nasib dan umur seseorang selain Penciptanya.

10. Film

Meski beberapa karyanya terdahulu telah difilmkan di beberapa negara asing, walau masih cenderung ke film non-komersil dan peredarannya dilarang di Indonesia. Berita terakhir mengabarkan bahwa beberapa karya utama Pram seperti "Tetralogi Buru" serta beberapa karyanya seperti "Gadis Pantai", "Mangir", dll. telah disetujui untuk difilmkan atas kerjasama beberapa sineas dan rumah produksi lokal dengan biaya miliaran rupiah. Jumlah ini sendiri adalah tawaran paling rendah, karena sebelumnya ia bahkan telah menolak sutradara tenar Amerika Oliver Stone yang kabarnya berani membeli hak memfilmkan "Bumi Manusia" sekitar US$ 1,5 juta (sekitar 15 miliar rupiah). Menurut putrinya, Astuti Ananta Toer, Pram menginginkan orang Indonesia yang menjadi produsernya.

Karya saya sudah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negeri Indonesia.

  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

11. Kabar Terakhir

Di usianya yang ke 81 tahun, Pram dikabarkan sedang sakit. "Bapak sakit karena sedih mendengar berita berbagai bencana yang menimpa di Indonesia," kata keluarganya. Kesehatannya berangsur membaik setelah rombongan cucunya datang ke kediamannya di Bojong membawa gitar dan organ. Pram kini memang selalu menunggu dengan harap kedatangan

Cindy, Vicky, Aditya, Angga, Cynthia, Rofa, dan Gitra -- para cucunya dari generasi MTV. Pram, yang pada dasarnya seorang penyendiri itu, kangen mendengar para cucunya yang berusia SMP sampai SMA itu bernyanyi riang apa saja -- dan karenanya selalu bangkit daya hidupnya. "Pram suka banget dinyanyikan itu, lho, lagu Amor, amor, juga Ave Maria. Pernah cucu-cucu menyanyikan lagu Peter Pan, Pram tidak ngerti, tapi ia seneng banget," kata Titik putrinya.

Tulisan dirangkum oleh Ary Cahya Utomo dari sumber-sumber:

  1. Kurniawan, Eka, 2002, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Jendela, Yogyakarta
  2. Teeuw, Arnold, 1997, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, Pustaka Jaya, Jakarta
  3. Toer, Pramoedya Ananta, 2006, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Lentera Dipantara, Jakarta
  4. Toer, Pramoedya Ananta, 1995, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Lentera, Jakarta
  5. Sumber-sumber media cetak, elektronik, dan lisan

Komentar