Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Pesan Moral dalam Cerpen

Karya sastra, pada umumnya senantiasa membawa dampak psikologis bagi pembacanya. Selain rasa "puas" dan terhibur, terbawa juga pesan moral secara implisit. Pesan moral ini jarang disadari oleh penulis, tapi begitu cerpen selesai ditulis dan dimuat oleh suatu media, baru disadari oleh penulisnya bahwa ada pesan moral tertumpang di dalamnya. Pesan moral itu berkaitan dengan pandangan atau ideologi yang dianut oleh penulis. Seorang penulis yang dibesarkan dalam lingkungan sosial tertentu, tanpa disadari, latar sosial penulis itu akan terefleksi ke dalam karangannya. Bukankah karya sastra itu merupakan refleksi dari kondisi sosial suatu masyarakat pada suatu waktu?

Pada masa pemerintahan Orde Baru yang mencapai kurun waktu lebih kurang 32 tahun, situasi sosial masyarakat Indonesia pada umumnya berada dalam cengkeraman ketakutan dan rasa protes yang tak pernah dapat diwujudkan karena ancaman aparat keamanan. Rasa tertekan dan protes yang laten dari masyarakat itu rupanya juga terefleksi ke dalam karya-karya sastra, meskipun tidak secara eksplisit. Ingat sajak "Tanah Air mata" yang ditulis Sutardji Calzoum Bakhri? Sajak itu salah satu bentuk protes dan sekaligus mengandung pesan moral di dalamnya. Sedangkan cerpen-cerpen yang terbit pada masa itu, sering kali terselubung pesan moral yang berbau protes terhadap keadaan.

Cerita pendek

Ambillah contoh, cerpen "Kades Mungkaruddin", yang termuat dalam kumpulan cerpen "Si Padang" (Penerbit buku Kompas, 2003), yang sebelumnya pernah dimuat Kompas pada masa dekat-dekat jatuhnya Soeharto. Cerpen itu mengisahkan betapa seorang ustaz bertitel doktor, gagal memberi ceramah di masjid desanya sendiri lantaran dilarang kades (Kepala Desa) dengan alasan "ketertiban dan keamanan" dalam masa minggu tenang menjelang Pemilu. Pesan moral apakah yang dapat kita petik dari cerpen seperti itu? Sekurang-kurangnya pembaca merasa solider (merasa terlibat) dengan penulis cerpen itu, dan mengutuk perilaku penguasa yang telah menghalangi kegiatan ibadah, lantaran takut pada atasan penguasa itu yang nyata-nyata hanyalah manusia biasa dan bukan Tuhan.

Para pakar sastra pernah bilang bahwa karya sastra yang baik biasanya menimbulkan makna yang mengembang ("snow ball") bagi pembaca dan memiliki nilai-nilai yang langgeng. Artinya, ketika sebuah cerpen yang bagus dibaca oleh banyak orang, justru masing-masing pembaca membuat tafsiran sendiri-sendiri yang belum tentu sama dengan pembaca lainnya. Bagi seorang pembaca yang fanatik beribadat, mungkin akan dendam terhadap tokoh "Kades Mungkaruddin" tersebut. Tapi bagi pembaca yang berlatar ilmu dan wawasan yang cukup luas, akan menafsirkan cerpen itu sebagai cerminan kebobrokan pemerintahan yang berbau fasis dan seterusnya.

Persoalannya sekarang, apakah setiap memulai menulis sebuah cerpen harus siap dengan pesan moral yang akan diemban? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab, menulis cerpen bukanlah menulis naskah dakwah. Menulis cerpen adalah menulis prosa fiksi, sedangkan menulis naskah dakwah atau artikel lainnya adalah menulis esai. Kedua bentuk tulisan itu sangat jauh berbeda tujuannya. Cerpen merupakan karya seni yang memerlukan sentuhan artistik melalui bahasa berdasarkan imajinasi. Tanpa berpretensi untuk menumpangkan pesan moral, nilai-nilai moral itu sudah pasti terselip secara implisit di dalamnya. Justru "berbahaya" jika seorang cerpenis sengaja memasukkan pesan moral itu secara eksplisit ke dalam karyanya.

Cerpen merupakan karya seni yang memerlukan sentuhan artistik melalui bahasa berdasarkan imajinasi.


Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Cerpen adalah karangan narasi atau bercerita. Kalau saja ada kalimat-kalimat semacam ini: "Sebaiknya Elsa menyadari, betapa besar dosa yang telah dilakukannya kalau saja ia berpacaran dengan Andi sampai melampaui batas-batas norma agama." Kalimat ini mestinya tidak ditulis dalam cerpen, sebaiknya "menceritakan" saja peristiwa yang terjadi, bukan "menjelaskan" atau mendeskripsikan seperti contoh kalimat di atas. Pesan moral dalam karya sastra tidak ditulis (dieksplisitkan), melainkan terselip dalam cerita (konflik dan peristiwa). Dengan demikian, karya sastra, termasuk cerpen, menjadi "bermakna" bagi pembacanya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs : Penulisan Kreatif
Alamat URL : https://groups.yahoo.com/group/penulisankreatif/message/225
Penulis : Harris Effendi Thahar
Tanggal akses : 24 Juli 2012

Komentar