Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Peranan Bahasa yang Komunikatif dalam Literatur

Bahasa bukanlah kumpulan kata yang diambil secara sembarangan. Bahasa memiliki daya pukau bila disusun dan ditempatkan pada kedudukan yang komunikatif. Dia mampu "membakar", "menangis" dan "bergembira". Bahasa yang komunikatif adalah bahasa yang hidup.

"Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah." (Yohanes 1:1) Tuhan berbicara kepada manusia dengan "Kata" (Firman). Dengan Katalah Dia menjadikan segala sesuatu di dunia ini. Kata itu sendiri menjadi "daging" (Yohanes 1:14, terjemahan lama) dan berada di antara manusia. Tuhan menciptakan bahasa yang komunikatif untuk manusia, agar dengan demikian manusia dapat memahami dengan jelas tujuan Kata itu. Kata yang tidak bermakna menjadikan bahasa tidak bermakna dan membuat komunikasi tidak berlangsung dengan efektif.

Pengertian Bahasa

Bahasa bukanlah kumpulan kata yang diambil secara sembarangan. Bahasa memiliki daya pukau bila disusun dan ditempatkan pada kedudukan yang komunikatif. Dia mampu "membakar", "menangis", dan "bergembira". Bahasa yang komunikatif adalah bahasa yang hidup. Bahasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat selalu mengikuti perkembangan manusia itu sendiri.

Bahasa manusia sangat erat kaitannya dengan konsep-konsep, tingkah laku, kebudayaan, dan aspirasi masyarakat pemakainya. Betapa pun kunonya tingkat kebudayaan manusia, bahasa tetap cukup memadai dan komunikatif bagi kepentingan hidup mereka sehari-hari. Sesungguhnya bahasa berurusan dengan yang "komunikatif" dan yang "tidak komunikatif". Bahasa yang sudah tidak dipakai lagi berarti tidak lagi komunikatif dan ditinggalkan masyarakat pemakainya.

Buku-buku, bahan bacaan maupun literatur yang tidak lagi komunikatif akan membeku dalam khazanah kebudayaan bangsa pemakainya. Kemajuan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan kemajuan bahasa. Ilmu pengetahuan memperkaya perbendaharaan kata-kata baru dan juga mengauskan kata-kata yang tidak dapat mendukung pengertian dalam perkembangan ilmu itu. Para penulis yang tidak hidup dengan perkembangan bahasa akan menciptakan bahan bacaan yang tidak komunikatif. Dapat dikatakan bahwa bahasa adalah proses yang terus-menerus memproses pengertian-pengertian yang menjalin komunikasi secara komunikatif di antara manusia yang hidup.

Apa Komunikasi Itu?

Sejak awal kita berbicara tentang sesuatu yang komunikatif. Apa sebenarnya bahasa yang komunikatif itu? Drs. Onong Uchjana Effendi dalam buku Dinamika Komunikasi (1986:3) mengatakan, "Komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada yang lain. Jika seseorang mengerti tentang sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka komunikasi berlangsung. Dengan lain perkataan, hubungan antara mereka itu bersifat komunikatif." Di dalam Leksikon Komunikasi lebih lanjut dikatakan bahwa komunikasi erat kaitannya dengan makna.

Peranan bahasa menjadi komunikatif berkat adanya makna yang dikandungnya. Setiap orang yang mengadakan komunikasi terpaut dengan konvensi. Aturan-aturan yang telah disepakati secara bersama oleh masyarakat pemakainya, lambang-lambang, dan tanda-tanda yang mendukung sesuatu pengertian. Bila proses itu berlangsung di antara dua atau tiga orang, maka terciptalah suatu suasana komunikatif. Dan peranan bahasa yang komunikatif ini sangat penting dalam proses itu.

Pilihan Kata Dalam Lingkup Komunikasi

Sadar atau tidak sadar, dalam komunikasi literatur orang memilih kata. Demikianlah pengarang berkomunikasi dalam tulisan melalui pilihan kata yang tepat. Apakah unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam konteks komunikasi ini? Pilihan kata agar komunikasi menjadi komunikatif?

Di bawah ini ada beberapa pandangan yang perlu diperhatikan, unsur-unsur yang harus ada. Marwoto (1985:117-127) menyebutkan sebagai berikut.

1. Situasi

Unsur ini menyangkut jenis masalah yang hendak disajikan. Seorang penulis berhadapan dengan pelbagai jenis masyarakat yang memiliki jati diri sendiri. Dia harus mengetahui keadaan masyarakat yang ditujunya dan bagaimana kebiasaan mereka berbicara dan masalah apa yang sering menjadi pokok pemikiran bagi mereka. Apakah tulisan yang disajikan itu untuk kelompok orang muda, orang tua, ataukah untuk anak-anak. Apakah tulisan itu ditujukan kepada golongan tertentu, untuk kelompok awam ataukah untuk kelompok yang profesional, dan lain-lain.

2. Makna

Pilihan kata itu bermakna leksikal (menurut kamus) ataukah bermakna gramatikal (menurut tata bahasa) yang bersifat umum, tepat, dan saksama. Yang dimaksud di sini dengan kata tepat ialah sesuai dengan sintaksis, sedangkan kata saksama ialah yang sesuai dan benar dengan yang hendak dikatakan. Karena diksi inilah seorang pengarang harus memahami masyarakat yang ditujunya. Eugene A. Nida dalam bukunya "God"s Word" (1952:25) mengatakan bahwa "kata-kata untuk kehidupan yang religius haruslah berakar pada pengalaman hidup setiap hari orang yang merasakan kehidupan religius itulah kehidupan, bukan hanya sekadar teori yang rapi yang terpencil dari bagian kehidupan itu sendiri."

Itulah sebabnya rasul Paulus berbicara mengenai bahasa yang hidup dalam surat yang ditulisnya kepada jemaat di Korintus (13:1) yang mengatakan betapa sia-sianya bahasa itu apabila tidak hidup dalam kehidupan itu sendiri, atau menjadi kehidupan itu. "Sekalipun aku berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing."

Penggunaan Kata Secara Efektif

Tulisan yang efektif adalah tulisan yang tepat guna. Penulis menimbang kata yang digunakannya sesuai dengan kodratnya dan memadukannya secara ekspresif. Penulis yang malas akan menggunakan kata-kata klise dengan harapan pembacanya akan langsung mengerti. Dia mengira bahwa kata-kata yang sudah lazim didengar dan diketahui oleh masyarakat akan segera memikat perhatian pembacanya dan pemahaman pun segera diperoleh. Penulis yang malas akan menghasilkan tulisan yang "malas" pula, alias tidak komunikatif sama sekali. Penulis harus setiap hari bergumul dengan kata-kata dan memilih kata spesifik yang mampu memberi warna dalam tulisannya.

Seorang penulis harus jujur kepada dirinya sendiri. Dia mencari ungkapan-ungkapan yang otentik dengan kata yang bervariasi, bukan dengan kata-kata klise yang berbunga-bunga. Ini juga mengandung arti bahwa penulis harus memiliki kata-kata sendiri, yang khas dengan dirinya dalam berekspresi, sehingga kata-katanya menjadi kuat. "Alangkah kokohnya kata-kata yang jujur." (Ayub 6:25)

Penerapan Kata yang Efektif dalam Tulisan

Sekarang tibalah kita kepada masalah penerapan kata dalam tulisan yang efektif. Keefektifan itu berasal dari pikiran kita sendiri. Dari pikiran yang bening keluarlah buah pikiran yang bening. Dari pikiran yang tertib akan lahir tulisan yang efektif. Dari mana kita memperoleh pikiran yang bening? Pada umumnya pikiran yang bening diperoleh sebagai hasil penelitian dan pandangan yang cermat atas dunia sekeliling kita.

Hanya orang yang cermat dapat melukiskan sesuatu dengan tepat. Orang yang cermat akan memandang sekitarnya dengan penuh perhatian, dia akan membaui sesuatu sebelum dia melukiskan keharumannya. Dia akan merekam warna, suara, rasa, selera dalam benaknya, dan kemudian mengolahnya dalam bentuk kalimat. Ada sesuatu yang sedang berproses dalam benaknya, proses yang mendalam dan terhayati atas lingkungan yang dapat diekspresikannya dengan rasa dalam bentuk tulisan yang cocok untuk itu.

Bahasa yang komunikatif sangat erat kaitannya dengan proses yang berlangsung dalam benak kita. Penulis buku "An Introduction to Christian Writing", Ethel Herr (1983:41-48) memberi semacam diagram kepada kita di bawah ini. Diagram itu terbagi atas dua fase sebagai berikut.

Fase I

  • Langkah 1: Pancaindera dan pikiran melihat sebuah ide atau sinar ide atau katakanlah percikan ide.
  • Langkah 2: Imajinasi mengawetkan dan membentuk ide itu.
  • Langkah 3: Pena mengongkretkannya dalam "kata-kata".

Fase II

  • Langkah 1: Pancaindera dan pikiran membaca "kata-kata" itu.
  • Langkah 2: Imajinasi mengkreasikan kembali serta mengevaluasi ide penulis.
  • Langkah 3: Seluruh pribadi merespons dalam gaya hidup.
  • Langkah 4: Mulut atau pena membagikan ide itu kepada orang lain dalam bentuk "kata-kata".

Fase-fase ini memberikan gambaran kepada kita bahwa sesuatu yang hendak dikomunikasikan sudah harus lebih dahulu mengalami proses di dalam benak kita. Wujudnya yang imajiner dijelmakan dalam "kata-kata". Kalau yang imajiner ini sudah komunikatif dalam diri penulis, maka dia pun akan mampu mengungkapkannya dalam bentuk suatu ekspresi, melalui artikel, cerita, atau buku yang bersifat umum. Oleh karena itu, penulis harus menguasai kata. Kata dan ide yang bulat! Dan penulis yang baik "rakus" akan kata-kata; dia tidak akan puas dengan makna leksikal belaka. Dia akan menyesuaikan kata dengan kodratnya, dalam hubungan yang komunikatif di tengah-tengah masyarakat pemakainya. Bahkan, penulis yang kreatif "sakit" akan kata-kata. Kata-kata sendiri memunyai fungsi sebagai berikut.

  1. Kata yang memengaruhi orang dan yang membuat mereka:

    1. berpikir atau mengubah pikiran mereka,
    2. memperoleh emosi yang kuat,
    3. mengembangkan tabiat dan sikap,
    4. bertindak, dan
    5. membagikan pikiran mereka kepada orang lain.
  2. Kata-kata melambangkan ide-ide.

    Kata-katalah yang membalut konsep agar pikiran kita segar dan jiwa sosial kita mendorong kita berbagi rasa dengan orang lain. Jika kita memilih kata-kata dengan miskin, maka komunikasi menjadi rusak. Memilih kata-kata yang tepat itu memang amat penting.

  3. Pemilihan kata dengan tepat membuat tulisan menjadi:
    1. jernih sehingga pembaca tidak perlu menebak-nebak apa yang dimaksud,
    2. tepat agar pembaca dapat percaya, dan
    3. terang agar pembaca ikut hanyut dan menikmati karya yang disuguhkan, ikut mengalami apa yang dialami pengarang atau penulisnya, turut mengambil bagian dan menyimpulkan sesuai dengan apa yang dikehendaki penulisnya.

Apa yang Dikatakan Alkitab

Di dalam Alkitab banyak dibicarakan tentang kata. Kata begitu penting dalam konteks Alkitab sebagaimana telah disinggung dalam bagian lain tulisan ini. Alkitab berbicara dan mengemukakan kata kepada semua golongan masyarakat. Ada kata-kata yang bersifat sastra, ada kata-kata yang amat sederhana yang digunakan rakyat jelata, ada kata untuk golongan menengah, ada kata untuk anak-anak. Semua lapisan masyarakat dibicarakan dalam Alkitab, semuanya dengan kata. Puncak dari semua kata terdapat dalam Alkitab, karena Kata itu telah menjadi "daging" dan hidup di antara manusia. Sekarang tergantung pada manusia itu sendiri bagaimana dia mengomunikasikan pengabaran itu sesuai dengan kondisi masyarakat pemakai bahasa yang beragam dan majemuk. Bahasa yang tidak cocok untuk satu masyarakat mungkin cocok untuk masyarakat lainnya. Bahasa yang sederhana umumnya komunikatif bagi semua golongan masyarakat. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin sederhana bahasanya dan semakin komunikatif pembicaraannya.

Alkitab menggambarkan "firman" atau kata-kata itu bagaikan pelita yang menerangi jalan (Mazmur 119:105). Siapa yang tidak mengenal "pelita"? Kata dikatakan bagaikan pelita, dan segeralah terbayang di dalam benak pembaca lampu yang menerangi jalan yang gelap. Komunikatif, bukan? Di bagian lain dikatakan bahwa "perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak." (Amsal 25:11) Sungguh indah, bukan? "Perkataanku menetes laksana embun, laksana hujan renai ke atas tunas muda, dan laksana dirus hujan ke atas tumbuh-tumbuhan." (Ulangan 32:2) "Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka." (Ibrani 8:10)

Nah, pertanyaan yang perlu kita pikirkan adalah: Mana yang lebih komunikatif? Siapakah Anda? Apa pekabaran Anda? Bagaimana cara menyampaikannya?

Diringkas oleh: Truly A. Pasaribu

Diringkas dari:

Judul artikel : Peranan Bahasa yang Komunikatif dalam Literatur
Nama buku : Visi Pelayanan Literatur
Penulis : Drs. Wilson Nadeak
Penerbit : Yayasan ANDI, Yogyakarta 1989
Halaman : 33 -- 49

Komentar