Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Jika di Surga Dilarang Tertawa, Saya Tak Ingin ke Sana! (Sebuah Entitas Kebahagiaan)
Tertawa itu bahagia. Kita bisa tertawa, ketika hati dan akal terasa bahagia (senang). Itulah kebahagiaan dalam level sederhana. Ya, kebahagiaan memang sederhana, tapi tak mudah disederhanakan. Kebahagiaan itu harmoni, namun tidak mudah pula diharmonisasikan. Bahkan kebahagian itu kenyataan, tetapi sulit juga untuk dinyatakan. Mengapa demikian? Tentu saja, demikianlah adanya.
Jika sebuah pertanyaan dilontarkan, siapakah orang paling berbahagia di dunia ini? Tentu saja, kita akan menemukan seribu satu macam jawaban yang berbeda-beda, dalam pemahaman masing-masing individu akan kebahagiaan tersebut. Sebab sederhananya, untuk bisa bahagia, seseorang harus bisa menciptakan realitas "happiness habit " atau kebiasaan untuk hidup bahagia.
Seorang tokoh pada abad pertengahan, Martinus dari Biberach, pernah berucap dengan lantang... "Aku datang-entah dari mana, aku ini-entah siapa, aku pergi-entah kemana, aku akan mati-entah kapan, aku heran bahwa aku gembira”. Dari penggalan ungkapan ini, dapat dipahamai bahwa, tidak ada satu sudut pandang manapun yang sepenuhnya benar dan lengkap, sehingga dapat menangkap keseluruhan imaji dari sebuah obyek. Nah, bila obyek yang dimaksud adalah "bahagia", maka semua orang pasti memiliki definisi masing-masing dan rasa masing-masing.
Lalu, apakah kita sedang bahagia? Ataukah kita pernah bahagia? Jika ditempatkan dalam ranah realitas, mungkin pertanyaan klasik ini dapat menjadi episentrum yang tak kunjung berujung.
Mari kita memulainya dari sini. Bahwa meskipun harmoni tentang kebahagiaan berada dalam serpihan-serpihan kenyataan, namun kebahagian itu selalu mempunyai titik simpul dari progeni tersendiri dari alam kehidupan setiap insan di dunia ini. Karenanya, kebahagian adalah hakikat (hakiki) tentangnya, yakni hakikat dalam hikayat tentang kebahagiaan itu sendiri. Jika demikian adanya, maka dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya,manusia adalah satu-satunya makhluk pencari kebahagiaan sejati, tetapi juga perusak akan kebahagiaan itu sendiri.
Pertanyaan selanjutnya, sudah berapa banyakkah tindak kekerasan yg timbul akibat kebahagiaan itu? Ya, tidak sedikit orang dalam kehidupan ini, selalu berusaha mencari kebahagiaan dengan cara mengorbankan kebahagiaan sesamanya. Untuk membahagiakan dirinya, orang tidak segan-segan saling melukai, menyakiti, hingga menghabisi apa yang harus dihabisi. Akhirnya, kebahagiaan itu semakin liar dan sulit untuk ditemukan. Bahkan ironisnya, tidak sedikit orang, justru mencari kebahagiaan ditempat-tempat salah, dan berakhir dengan kehidupan yang jauh lebih menderita dari sebelumnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin karena kita selalu mencari kebahagiaan itu di luar diri kita sendiri. Dalam hal ini, kita mengharapkan sesuatu, atau seseorang memberikan perasaan bahagia tersebut pada diri kita.
Meminjam sepenggal kalimat bijak sang Rumi,...”Kita mencari kalung permata dari ruangan ke ruangan yang sebetulnya ada di leher kita sendiri.” Ini pun sama artinya ketika kita berusaha mencari kebahagiaan. Kita mencarinya ”kemana-mana”, dan kita tidak pernah dengan persis mengetahui dimana letak "kebahagiaan" tersebut, kecuali ada dalam diri kita sendiri! Bagaimana mungkin seseorang akan bahagia, jika ia sendiri tidak merasa bahagia? Jika ia tidak yakin siapa dirinya sebenarnya? Bagaimana mungkin ia bahagia, jika ia hidup berdasarkan bagaimana orang lain memandang tentang dia? Jika seseorang tidak tahu apa yang sungguh berarti di dalam hidup ini? Jika seseorang tidak mencintai dirinya sendiri? Jika dia tidak menerima dirinya sendiri apa adanya? Serta, jika seseorang tidak tahu apa kelebihannya, lalu berusaha mengembangkannya!
Pikiran dan perasaan tentang diri sendiri, sudah pasti akan menentukan apa yang seseorang percayai tentang dirinya sendiri. Karna, ketika seluruh dunia menyatakan sebaliknya, ia akan tetap teguh tak tergoyahkan. Tentu saja, memahami dan menerima diri apa adanya, adalah kunci utama untuk menjadi bahagia. Singkatnya, orang yang bahagia harus bisa mencintai dan menghargai dirinya sendiri, walau mungkin saja ia sangat berbeda dibandingkan dengan lingkungan sosial dan lain sebagainya yang berada di sekitarnya.
Kebahagiaan tidak tergantung pada hal-hal yang berbau materialisme, seperti: kemewahan, jabatan, gelar yang prestisius (meskipun hal-hal tersebut dapat membawa kesenangan pada hidup). Kebahagiaan pun tidak tergantung pada orang lain, seperti seseorang memiliki orang-orang yang penting di dalam hidupnya (meskipun cinta kasih dan kehadiran orang-orang tersebut dapat menambah keceriaan, tetapi juga sebaliknya). Kebahagiaan juga tidak tergantung pada suatu hal yang terjadi, misalnya, jika seseorang tetap tinggal di suatu tempat, maka ia akan menjadi baik, dan jika orang tersebut pergi meninggalkan tempat itu, maka ia pun akan menjadi tidak baik.
Intinya, kebahagiaan bukan sesuatu yang dapat terukur oleh apa saja, dimana saja, dan dengan cara apa saja, di luar diri kita. Justru hambatan terbesar untuk rasa bahagia itu adalah pemikiran yang keliru dari diri sendiri. Seperti misalnya pemikiran tentang seseorang atau sesuatu yang membuat kita bisa "berbahagia". Mungkin saja, kita dapat merasakan keceriaan atau mendapatkan kebahagiaan dari orang lain, misalnya. Tetapi ingat bahwa, kebahagiaan tersebut sebetulnya adalah semu dan sementara. Ketika suatu saat nanti, orang itu tidak bersama-sama lagi dengan kita, maka sudah pasti keceriaan dan kebahagiaan itu akan pergi juga bersamanya.
Seperti sebuah pepatah Cina mengatakan bahwa: “Orang yang paling berbahagia adalah orang yang waktu dia lahir, semua orang tertawa dan hanya dia yang menangis, dan waktu ia meninggal semua orang menangis dan hanya dia yang tertawa”. Sang filsuf Aristoteles, juga menyatakan dalam karyanya, "Nichomachean Ethics", bahwa: "Kebahagian tergantung pada diri kita sendiri". Seorang Alexei Tolstoy kemudian berkata dalam "Kosma Prutkov", bahwa:"Jika anda ingin bahagia, berbahagialah ". Artinya bahwa, Aristoteles dan Tolstoy menyatakan dengan gamblang bahwa kebahagiaan itu ada pada diri seseorang, dan hanya tergantung padanya (orang tersebut).
Jika kita menilik lagi dari sumbernya, maka John Stuart Mill dalam "Autobiography", justru membuat antitesa dari kedua pendapat di atas, dengan menganjurkan bahwa: .."Tanyakanlah kepada diri Anda, mengapa Anda bahagia, dan Anda tidak akan berbahagia lagi".
Namun seorang G.K. Chesteron, dalam karya terbesarnya, "Heretic", menyambungnya demikian.. "kebahagiaan adalah misteri layaknya agama, dan seharusnya tidak pernah bisa dicari-cari alasannya". Selanjutnya, tokoh reformasi ternama, John Calvin dalam karyanya "Institutio", dengan gamblang dan tanpa embel-embel menegaskan bahwa: "Kebahagiaan utuh adalah mengenal Tuhan ".
Menyambung ungkapan-ungkapan bahagia di atas, dalam karya kitab Amsal editan dari zaman raja Salomo, semakin memperjelas lagi, bahwasanya.. "Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian”. Dalam konteks Kekristenan, khususnya dalam ibadah-ibadah yang dilakukan, para orang-orang rohani seperti pemimpin ibadah, Pendeta dan Majelis Jemaat, biasanya setelah membaca Alkitab, selalu mengakhirinya dengan sepenggal kalimat... "Berbahagialah mereka yang mendengarkan firman Tuhan dan yang memeliharanya ".
Akhirnya, Yesus Kristus, dalam keseluruhan konsep “Ucapan Bahagia-Nya”, justru menganjurkan realitas akan kebahagiaan itu dari realitas akan ketidakbahagiaan—dari situasi yang tidak memungkinkan untuk seseorang bisa berbahagia secara alami. Seperti ada tertulis dalam kitab Injil Matius 5:
"Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”.
“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur”.
“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”.
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan”.
“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan”.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”.
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”.
“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”.
“Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu di cela dan di aniaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat".
Konon, dengan “Ucapan Bahagia” Kristus di atas, Mahatma Gandhi dan Leo Tolstoy, menjadi tertarik dengan rahasia apa di balik ucapan tersebut. Apa sebenarnya yang dimaksudkan Kristus dengan ungkapan-ungkapan Bahagia itu? Jika di simak, konsep “bahagia” dari Kristus ini merupakan sesuatu yang sederhana. Namun, justru kesederhanaan inilah yang selalu ditentang, juga di tolak, bahkan dirusakkan oleh manusia-manusia sebagai pencari kebahagiaan. Seharusnya, dimensi kebahagiaan seperti inilah yang terus direnungkan. Bahkan di alami secara berkesinambungan.
Kebahagiaan itu tidak harus sekedar menjadi slogan yang indah dan bagus saja. Bahkan tidak hanya sekedar membuat manusia yang seolah-olah dengan memajangnya, manusia telah dapat dikatakan bahagia, padahal yang sebenarnya, dia sedang menipu dirinya sendiri dengan ketidakbahagiaannya.
Kita semua harus bahagia! Harus tertawa! Sebebas bebasnya, sekuat-kuatnya.. Apapun persoalannya, apapun masalahnya. Kita memang harus bahagia, dan bahagia. Sebab, jika nanti Sang Kebahagiaan Sejati itu datang melalui kereta Maranatha-Nya, kita akan tertawa lepas! Kita akan terbahak-bahak di sana! Ditempat kebahagiaan itu berada, Di tempat tertawa itu bersemayam abadi, selamanya.
Ya, di Surga tak ada ratapan, tak ada pula linangan air mata! Kita akan tertawa di sana. Kita pasti akan bahagia di sana! Sebab jika di Surga dilarang tertawa, pasti tak ada kebahagiaan di situ. Dan jika di Surga dilarang tertawa, saya pasti tak mau ke sana! Selamat merayakan kebahagian kapan saja,di mana saja, dan dengan cara apa saja. (Abdy Busthan)