Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Disapa "Anda" Malah Tersinggung

Suatu ketika di sebuah sekolah, seorang kepala sekolah dipusingkan oleh sebuah masalah. Satu orang tua siswa mengadu kepadanya tentang wali kelas anaknya. Dia merasa tersinggung oleh ucapan wali kelas itu. Kemudian kepala sekolah memanggil si wali kelas yang kebetulan guru bahasa Indonesia. Kepala sekolah merasa heran mengapa seorang guru bahasa Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa yang baik sehingga membuat lawan bicaranya tersinggung. Dia berniat mempertemukan wali kelas dan orang tua murid itu.

Setelah dipertemukan, ternyata yang menjadi masalah bukanlah isi pembicaraan yang disampaikan wali kelas, melainkan kata "Anda" yang digunakan wali kelas dalam berbicara. Menurut orang tua siswa itu, dengan kata "Anda", wali kelas sengaja menjaga jarak dengannya sehingga dia merasa menjadi orang asing dan tidak nyaman. Dia juga menganggap wali kelas anaknya itu sombong dan memandang rendah dirinya.

Sementara, sang wali kelas yang guru bahasa Indonesia itu terheran-heran. Menurut kamus dan pengetahuan santun berbahasanya, kata "Anda" adalah kata ganti orang kedua yang digunakan untuk menghormati lawan bicara.

Setelah permasalahan antarpersonal diselesaikan, dilakukan penelitian kecil dengan menanyakan tanggapan para orang tua siswa. Ternyata hal tersebut dirasakan oleh mayoritas orang tua siswa yang mendapat kata "Anda" dalam sapaan. Maka segeralah kepala sekolah mengimbau para wali kelas untuk tidak menggunakan kata "Anda" ketika berbicara dengan orang tua siswa. Para wali kelas disarankan menggunakan kata sapaan "Bapak" atau "Ibu" saja.

Peristiwa tersebut hanyalah satu dari sekian peristiwa yang muncul dengan permasalahan yang sama. Dalam masyarakat penutur bahasa Indonesia, ternyata kata "Anda" telah mengalami pergeseran makna. Selama ini diketahui bahwa kata "Anda" menimbulkan konotasi positif, sopan, dan resmi. Konotasi ini berbeda dengan konotasi yang ditimbulkan kata "kamu" atau "engkau".

Modifikasi memang penting untuk keberhasilan kehidupan suatu bahasa. Tetapi dalam penggunaannya, bahasa tetap milik masyarakat penutur. Ketentuan tinggallah ketentuan, masyarakat penuturlah yang menentukan pemakaiannya. Walaupun dalam ketentuan suatu kata memiliki konotasi positif, apabila masyarakat merasakan lain, konotasi versi masyarakatlah yang terus hidup.

Hal itu merupakan bukti baru kehidupan bahasa Indonesia. Bahasa yang hidup akan terus bergerak mengikuti perkembangan budaya penuturnya. Apabila ternyata kata sapaan memang lebih pantas dan nikmat bagi pengguna, mengapa tidak. Merunut asal-usulnya pun, kata sapaan merupakan kata yang digunakan untuk memunculkan keakraban di antara pemakai bahasa. Dengan adanya sapaan, lawan bicara akan merasa lebih diakui oleh pembicara.

Kata sapaan seperti "Bapak", "Ibu", dan sapaan kekerabatan lainnya menimbulkan kesan hormat atau hangat. Sementara kata sapaan yang menyangkut profesi atau kedudukan juga mendatangkan hal positif bagi orang yang diajak bicara. Kata sapaan "Dokter", "Suster", "Profesor", dan sebagainya akan menimbulkan kesan pengakuan pembicara terhadap posisi lawan bicaranya.

Mencermati fenomena baru ini tentu saja ada kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, tidak selamanya sesuatu yang dirumuskan oleh ahli bahasa dapat sesuai dengan selera penutur bahasa. Kedua, bahasa tidak berhenti pada satu titik, tetapi terus bergerak sehingga para pembina bahasa terus mencermati dan terus melakukan penyesuaian. Ketiga, semua orang yang paham kebahasaan dan tata aturannya tetap harus mencermati perkembangan budaya di sekelilingnya. Dalam pelaksanaannya, penggunaan bahasa yang benar tidak selalu merupakan bahasa yang baik.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul majalah : Intisari, Maret 2007
Penulis : Idham Hamdani
Penerbit : PT Intisari Mediatama, Jakarta 2007
Halaman : 86 -- 87

Komentar