Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Arkais
Oleh SALOMO SIMANUNGKALIT
Ibu W langsung membubuhi coretan merah pada kata "kahat" dalam naskah Kamus Swedia-Indonesia susunan Andre Moller. Sang penyusun semula memasangnya sebagai padan kata Swedia "svalt". Namun, penanggung jawab bidang bahasa dan sastra perusahaan yang menerbitkan kamus tersebut menyingkirkan kata itu sebab menganggapnya arkais. Tinggallah bencana kelaparan sebagai satu-satunya kata atau ungkapan Indonesia untuk "svalt". [block:views=similarterms-block_1]
Sehabis membaca cerita yang dituturkan Moller dalam rubrik ini dua pekan lalu, saya langsung berbatin, apa dasar hukum bagi vonis Ibu W yth. Kemudian saya periksa status "kahat" dalam dua kamus yang cukup kerap dirujuk di sini.
Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta menaruh A di awal lema "kahat", yang berarti berasal dari bahasa Arab. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga mencantumkan Ar pada entri serupa, yang maksudnya bahwa "kahat" berasal dari bahasa Arab. Tanda arkais pada KUBI adalah +, pada KBBI "ark", dan masing-masing tidak disandingkan untuk menjelaskan status "kahat". Jadi, kedua kamus nyata-nyata belum memasukkan "kahat", yang setimpal dengan bencana kelaparan dan kekeringan karena tidak turun hujan, ke dalam kategori arkais.
Kalaupun "kahat" arkais, mengapa Ibu W menyisihkannya bahkan untuk keperluan kamus. Pikir saya begitu! Asal tahu saja, banyak kata Latin dan Yunani yang sangat purba dibangkitkan dari kubur oleh ilmuwan-ilmuwan ternama dalam bidang mereka masing-masing untuk melabeli konsep atau temuan mereka. Segera saja kata-kata yang sudah bangkotan itu memasyarakat dan tentu saja tahan zaman.
"Spektrum" yang 300 tahun lalu telah diperlakukan sebagai "potongan nahinan" alias "baheula", oleh Sir Isaac Newton diangkat menjadi istilah dalam optika. Sekarang spektrum dianggap modern oleh manusia sejagat sampai abad ini.
"Mimeme" yang barangkali hanya dikenal orang-orang Yunani yang setia pada teks-teks lama mereka, oleh biologiman evolusioner terdepan Richard Dawkins sekitar 30 tahun lalu dipugar jadi "meme" dan menjadi istilah modern dalam ilmu yang bikin agamawan sering salah tingkah itu untuk menamakan sebuah gagasan semacam gen "pikiran, perilaku, dan kebudayaan" dalam masyarakat manusia. Tak kurang dari Richard Brodie, penulis versi pertama Microsoft Word, yang merasa ketinggalan zaman ketika terlambat mengenal kata "meme" dalam diskusi dengan beberapa sejawat yang ia kagumi di Microsoft sewaktu Bordie masih bekerja di sana.
Kalau semua editor kamus bersikap seperti Ibu W, kita tak bakal mengenal munsyi semacam Sudjoko dan Remy Sylado oleh ketekunan mereka menimba dari lautan kata-kata nusantara yang pernah hidup untuk memantarkan kata atau istilah yang terus lahir di negeri maju sejalan dengan api inovasi yang tak pernah surut di sana.
Barang siapa yang pernah membaca "Wisata Kata", tulisan Sudjoko dalam buku Ilmuwan dan Bahasa Indonesia (Penerbit ITB, 1988), pasti dapat bersaksi betapa kata-kata nusantara yang terdapat di dalam sebuah kamus seperti KUBI cukup ampuh memantarkan kata-kata dari negeri maju yang sekarang kita serap hanya dengan menyesuaikan ejaan saja: option menjadi opsi, to criticize menjadi mengkritisi, dan lain-lain.
Saya selalu memakai kata pelantam, yang oleh Sudjoko diangkat sebagai padan loudspeaker, untuk perkakas pengeras suara yang selalu saya gunakan saban menikmati musik. Lantam adalah kata yang sangat hidup di Sumatera Utara. Salah satu maknanya ialah "keras sekali (tentang suara, bunyi)". Pelantam tentu saja pengeras suara. Bukankah itu juga yang dimaksud dengan loudspeaker?
Saya membayangkan "pelapahan" suatu waktu kita pakai untuk menimpali "mutilasi", kata yang selama ini kita anggap tak punya pijakan di bumi nusantara tempat kita menjunjung langit. Lapah, tepatnya melapah, berarti menguliti dan memotong binatang sesudah disembelih". Bukankah tindakan seperti itu juga yang dimaksud dengan mutilasi?
Masih banyak kata nusantara yang maknanya persis dengan kata-kata dari mancanegara yang masuk ke sini asal saja kita mau tekun seperti Prof Sudjoko mencarinya dari berbagai sumber tertulis semacam kamus atau naskah-naskah lain. Lakon Sudjoko ini mestinya juga lakon setiap orang, yang pekerjaannya menulis!
Saya tak membayangkan kita punya kebebasan seperti ini andaikan saja tangan para editor kamus gemar menghamburkan tinta meraihnya, untuk berulang-ulang membubuhi hanya satu kata: arkais.
Sumber : Kompas, Jumat 7 Juli 20006 Hal 15
- 4450 reads