Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Seandainya Tidak Ada Penulis
Apakah Anda dapat membayangkan apa yang akan terjadi bila tidak ada penulis Alkitab. Anda pun dapat menduga apa yang akan terjadi jika tidak ada catatan tertulis tentang Allah. Percaya secara ngawur mungkin kata yang tepat untuk mengatakannya.
Saya pernah mengadakan survei sederhana ketika menyampaikan ceramah di sebuah sekolah tinggi teologi di Yogyakarta. Survei itu adalah tentang pentingnya pelayanan literatur menurut para mahasiswa. Survei sederhana tersebut menunjukkan hasil yang mengagetkan. Hanya sekitar 20% mahasiswa yang menilai penting pelayanan literatur. Selebihnya, menganggap tidak terlalu penting.
Data di atas, hendak menunjukkan banyak orang yang kurang berminat dalam area pelayanan tulis-menulis. Mereka berpikir lebih baik melakukan pekerjaan lain daripada menulis. "Menulis adalah pekerjaan membosankan dan menguras energi," kata seorang pendeta dalam suatu pertemuan sinode sebuah gereja. Menurut hamba Tuhan senior tersebut, lebih baik menjadi pengkhotbah keliling daripada menulis. "Lebih baik menjadi penginjil terkenal daripada menulis," imbuh hamba Tuhan lain yang ikut nimbrung.
Survei sederhana dan hasil percakapan di atas membawa inspirasi tersendiri untuk menuliskan artikel di atas. Judul itu merupakan hasil perenungan, sekaligus kegelisahan batin saya. Saya berpikir apa jadinya dunia intelektual bila tidak ada penulis. Apa yang bakal terjadi bila orang menganggap enteng masalah tulis-menulis. Mungkinkah kerohanian orang Kristen akan bertumbuh? Bagaimana menurut Anda?
Dari perenungan itu, minimal ada tiga hal penting yang akan terjadi bila tidak ada penulis.
Bila tidak ada penulis, tidak ada yang mengenal Allah dengan tepat.
Allah tidak hanya menyatakan diri dalam Yesus Kristus, tetapi juga memakai media literatur. Alkitab adalah wahyu Allah, ditulis sekitar empat puluh orang yang bersedia dipakai-Nya. Orang-orang ini dengan kepribadiannya menuliskan kasih dan kemurahan Allah. Pula tentang rencana Allah bagi dunia ini.
Bila Allah dalam sejarah hanya menyatakan diri dalam Yesus Kristus dan tidak ada data tertulis, kemungkinan besar kita hanya beriman kepada Allah "kata orang". Maksudnya, kita hanya memercayai Allah menurut pendapat orang di sekeliling kita. Iman kita dibangun bukan berdasarkan data akurat yang pantas dipercaya, yakni Alkitab. Jika kita percaya kepada Allah menurut kata orang, hal itu sangat berbahaya. Mengapa berbahaya? Karena kita tidak mungkin mengenal Allah dengan tepat dan benar. Namun, sangat berbeda jika Allah menyatakan diri-Nya melalui sebuah data tertulis yang diwahyukan oleh Allah sendiri. Dan, data itu diwariskan dari generasi ke generasi.
Akan tetapi, kita bersyukur karena ada Alkitab, sebuah buku agung sepanjang sejarah manusia. Buku itu memberi informasi lengkap tentang Allah dan karya-Nya. Kita juga bersyukur karena Allah memakai manusia untuk menuliskan tentang diri-Nya, kasih-Nya, dan kemurahan-Nya bagi dunia. Tentu hal ini merupakan kabar gembira bagi kita. Di dalam Alkitab, kita dapat menemukan Allah. Juga dapat memahami maksud-Nya bagi dunia ini dan diri kita.
Anda dapat membayangkan apa yang bakal terjadi jika tidak ada penulis Alkitab. Anda juga dapat menduga apa yang akan terjadi jika tidak ada catatan tertulis tentang Allah. Mungkin satu kata untuk mengatakannya -- ngawur. Orang akan beriman kepada Tuhan secara ngawur. Orang akan melayani Tuhan, juga dengan cara ngawur. Serba ngawur itulah yang terjadi bila tidak ada para penulis Alkitab.
Sesungguhnya, banyak mutiara iman yang hilang dari kekristenan karena tidak ada orang yang menuliskannya. Ada banyak pengalaman indah bersama Tuhan yang hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Terbatas karena tidak ada dokumen yang disebarluaskan.
Karena itu, Allah menyampaikan pesan dan perintah-Nya melalui tulisan dan para penulisnya. Kepada Nabi Habakuk, Allah memberi perintah: Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh supaya orang sambil lalu dapat membacanya (Habakuk 2:2). Allah menilai media tulis-menulis sebagai sarana untuk menyatakan diri-Nya.
Bukan hanya Allah yang menilai pentingnya sebuah tulisan, tetapi para tokoh dunia pun mengakui hal ini. Mereka secara jujur mengaku bahwa ada kekuatan yang luar biasa melalui tulisan. Sebagai contoh, tokoh reformasi gereja, Martin Luther berpendapat, "Selain keselamatan dari Tuhan Yesus, maka anugerah terbesar dari Tuhan yang lain adalah mesin cetak." Demikian juga Benyamin Franklin berkata, "Bila saja Anda memberi 26 serdadu, maka saya akan menaklukkan dunia." Saat ditanya, apakah yang dimaksud dengan 26 serdadu, ia menjawab, "Huruf A sampai Z." Yang tidak kalah penting adalah pendapat dari Napoleon Bonaparte yang mengatakan, "Senjata api dan pena adalah kekuatan-kekuatan yang paling dahsyat di dunia. Akan tetapi, kekuatan pena akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan senjata api."
Dengan tidak ragu lagi, dapat dikatakan bahwa menulis adalah bagian pelayanan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia, termasuk orang Kristen.
Bila tidak ada penulis, tidak ada PENYAMPAI berita keselamatan.
Berita keselamatan adalah berita yang harus diwartakan. Berita itu menegaskan bahwa keselamatan diberikan cuma-cuma bagi mereka yang menerima-Nya. Bagaimana cara menyampaikan berita keselamatan itu? Ada berbagai cara, dan salah satunya adalah melalui tulisan.
Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah seminar pembinaan media Kristen yang pernah saya ikuti, seorang pemakalah mengatakan bahwa literatur Kristen adalah utusan Injil tercetak. Mengapa dikatakan demikian? Karena hasil tulisan, baik berupa majalah, tabloid, buku rohani, maupun traktat, dapat pergi ke mana-mana tanpa dilihat sebagai orang asing. Atau, pula menjadi pengkhotbah estafet yang dapat menyampaikan beritanya dengan sangat rajin.
Para rohaniwan dapat mengambil cuti pelayanan. Selama itu, ia tidak dapat mewartakan berita keselamatan. Namun, literatur Kristen yang digarap oleh penulis yang mencintai Tuhan dapat menjadi pengkhotbah keliling yang tak kenal cuti pelayanan. Siang malam dapat menyampaikan berita-Nya dengan jujur kepada siapa saja tanpa mengalami noise atau distorsi berita. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa melayani melalui pena merupakan bagian dari pelayanan kita? Sungguh suatu pelayanan yang sangat penting.
Seorang pernah berkisah awalnya ia mengenal Tuhan. Orang ini adalah seorang yang melawan Tuhan dan membenci kekristenan. Kisahnya unik, ia mengenal Tuhan melalui sebuah traktat kecil kumal yang dibuang di tempat sampah. Ia mengatakan bahwa traktat itu menghantarnya mengenal Juru Selamat.
Bila tidak ada penulis, mungkinkah orang ini mengenal Tuhan? Tentunya tidak! Allah memakai para penulis sebagai sarana pewarta kasih-Nya.
Bila tidak ada penulis, dunia sepi informasi.
Informasi merupakan kebutuhan manusia yang hidup pada abad ini. Bahkan, abad ini disebut sebagai abad informasi. Karena itu, ada pendapat bahwa yang menguasai masa depan adalah mereka yang menguasai teknologi dan informasi. Saya kira pendapat itu benar. Apa yang terjadi saat manusia sepi informasi? Ketika seseorang sepi informasi, tidak mungkin menjadi orang yang memengaruhi dunia. Sepi informasi menyebabkan seseorang dangkal wawasannya. Sepi informasi menyebabkan dunia tidak mungkin maju dengan pesat.
Dari mana munculnya informasi? Dari mana munculnya berita? Apakah informasi langsung turun dari langit? Apakah berita langsung muncul begitu saja? Tentunya tidak bukan? Berita-informasi harus dicari, diusahakan oleh para penulis. Dan, seandainya para penulis mandek, tidak mau menulis, dapat dipastikan bahwa dunia akan sepi informasi. Sepi informasi akan menyebabkan kebodohan. Dan, kebodohan akan menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan akan menyebabkan kesengsaraan. Kesengsaraan menyebabkan tingginya konflik sosial dalam masyarakat.
Demikian halnya dalam dunia kekristenan. Apabila sepi penulis, akibatnya berita-berita yang mencemaskan -- tidak membawa pengharapan mewarnai dunia kita. Sebaliknya, bila banyak orang Kristen meluangkan waktu untuk menulis, kita dapat mewarnai dunia dengan pengharapan abadi. Pengharapan dalam Kristus Tuhan. Apakah Anda menyadarinya? Atau, menganggapnya biasa?
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | E-Bahana |
Alamat situs | : | www.ebahana.com |
Judul artikel | : | Seandainya Tidak Ada Penulis |
Penulis | : | Seorang rohaniwan -- jurnalis di Yogyakarta |
Tanggal Akses | : | 28 Juli 2011 |