Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Pancasila, Pascasarjana, Coca-Cola
Proses teknologi kata pun terjadi ketika kita menangkap bunyi dan menguncinya di atas kertas dalam wujud gambar. Aksara adalah gambar yang dirancang untuk menyimpan bunyi agar ada yang tersisa -- katakanlah residu -- ketika ucapan tidak terdengar lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah memanfaatkan rentetan aksara untuk menyimpan pengetahuan, mimpi, harapan, kenangan, dan apa saja agar tidak menguap begitu saja, agar bisa diperiksa ulang oleh yang merentetkan aksara itu sendiri ataupun orang lain yang membacanya.
Demikianlah maka segala hal yang kita tulis tersimpan di luar diri kita (di batu, lontar, kertas, dan dunia maya) sehingga bisa pada gilirannya dimanfaatkan untuk mengembangkan pengetahuan dan pengalaman. Sejak bunyi kita teknologikan, ilmu pengetahuan dan pengalaman manusia berkembang dengan sangat cepat dan semakin cepat: dalam waktu beberapa ribu tahun, perkembangan pengetahuan tidak sebanding lagi dengan jutaan tahun ketika manusia belum mengenal aksara.
Namun, kita tetap saja masih ingin -- dan harus -- berkomunikasi lisan. Kata yang sudah berupa gambar di atas kertas kita lisankan lagi, dan timbullah "masalah". Bunyi yang kita ucapkan ternyata terdengar berbeda-beda di telinga kita. Sebagai contoh saja, ketika ayam jantan berkokok, orang Jawa mendengar dan menuliskannya sebagai "kukuruyuk". Kalau jago itu mengibas-ngibaskan sayapnya dan berkokok di Bandung, Mang Koko akan mendengarnya sebagai "kongkorongok". Harap dicatat: ayam jantan yang berkokok, ya, yang itu-itu juga. Lha, kalau ayam yang sama dibawa ke Madrid dan berkokok, penyair Federico Garcia Lorca mendengarnya sebagai "cocorico". Di London, Pangeran Philips mendengarnya sebagai "cock-a-doodle-do".
Tentu ada yang "salah" dengan telinga kita, mendengar suara yang persis sama, tetapi kemudian menuliskannya berbeda-beda. Anehnya, rentetan aksara yang sudah kita tulis itu tampaknya perlu dilisankan kembali. Seandainya si ayam bisa membeda-bedakan, ia akan heran mengapa suaranya jadi berubah-ubah, "Padahal aku 'kan tidak mengubah-ubah kokokku," demikian mungkin kata si ayam dalam hati.
Memang, kita tidak hanya memiliki "kualitas" telinga yang berbeda-beda, tetapi juga "watak" mulut yang berlainan. Ketika mengubah bunyi menjadi gambar pun, kita menghasilkan berbagai jenis aksara yang tentu saja harus sesuai dengan telinga dan mulut masing-masing. Alif-ba-ta berbeda dengan a-b-c, berbeda pula dengan ha-na-ca-ra-ka. Nenek saya, orang Jawa, susah sekali mengucapkan huruf f dan mengucapkannya sebagai peh atau ep. Namun, beliau mengenal dua jenis ucapan untuk huruf d, yang tidak akan menimbulkan masalah kalau ditulis dengan aksara Jawa. Akan tetapi, ketika harus menuliskannya dalam aksara Rumi, ia pun mendapatkan akal: bunyi yang satu ditulis sebagai gugus konsonan dh, satunya lagi biasa saja, dengan huruf d.
Kalau keliru menulis, akibatnya bisa menjengkelkan sekaligus menggelikan. Dalam bahasa Jawa, "wedi" artinya takut, sedangkan "wedhi" artinya pasir. "Mendem" itu mabuk, "mendhem" itu mengubur. Kolom Bahasa! dalam Tempo pun kadang-kadang masih keliru. Yang pasti, dalam novel Umar Kayam yang diterbitkan Grafiti masih banyak kesalahan serupa itu meskipun konon editornya orang Jawa.
Lha, kalau orang Bali harus mengucapkan tiap-tiap Sabtu, toko-toko patung tutup, suaranya akan jadi aneh bagi orang Manado karena bunyi t-nya tidak sama dengan t dalam tetapi. Sebaliknya, orang Manado cenderung mengacaukan ucapan wedi dan wedhi -- keduanya dibaca wedhi. Karena telinga dan mulut kita ternyata memiliki alat dengar dan alat ucap berbeda-beda, terjadilah kekisruhan ketika harus mengucapkan Kompleks Senen karena x bisa diucapkan (dan kemudian ditulis) sebagai eks atau ek saja. Di samping itu, saking bingungnya orang Sunda menuliskan nama kampungnya, Banceuy, dan nama makanannya, peuyeum, supaya bunyinya pas di telinganya, tetapi kalau orang Jawa melisankan bunyinya pasti jadi lucu, dan seterusnya.
Namun, tulisan yang "ngalor-ngidul" ini hanya ingin menyampaikan satu hal penting, yakni bahwa kata pascasarjana seharusnya diucapkan sama dengan Pancasila.
Dalam banyak kesempatan, saya sering mendengar rekan mengucapkannya sebagai pascasarjana, bahkan kemudian menuliskannya demikian juga. Kita tahu, "c" dalam kata itu dahulunya dieja "tj", bukan "k". Namun, karena "c" dalam Coca-Cola (merek dagang berbahasa asing yang tidak boleh diubah ucapannya) dibaca sebagai k, menderitalah kata-kata seperti pascabayar, pascaperang, dan pascapanen. Sebaiknya, tidak usahlah kita ikut-ikut membuat kata "pasca" itu menderita berkepanjangan.
Bayangkan kalau Pancasila kita baca sebagai Pankasila. Bung Karno pasti akan bangkit dari kubur dan menuding kita, "Kalian ini subversif!"
Diambil dan disunting dari: | ||
Nama situs | : | Rubrik Bahasa |
Alamat URL | : | https://rubrikbahasa.wordpress.com/2014/05/05/pancasila-pascasarjana-coca-cola/ |
Penulis artikel | : | Sapardi Djoko Damono |
Tanggal akses | : | 20 Januari 2015 |