Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Melayani Dia Melalui Pena
Di tengah-tengah seminar Langkah Pemuda di Tengah Pergolakan Dunia, seorang mahasiswi Sastra Inggris Universitas Nasional Jakarta, yang juga menjadi salah seorang peserta seminar itu, memberiku selembar kertas. Aku terkejut. Aku belum begitu akrab dengan dia. Aku baru mengenalnya dua hari. Ya. Pada saat seminar itu saja. Namanya Inge!
Ketika lembar kertas itu kubuka dari lipatannya, dahiku mengernyit. Isinya, kalau ingin tahu, puisi. Lho, kok sempat-sempatnya dia membuat puisi di tengah seminar yang cukup serius ini. Pantas dari tadi dia kulihat asyik menulis sesuatu. Kebetulan saja, dia duduk persis di sebelahku. Kukira mencatat pokok-pokok pikiran pembicara. Ternyata! Inilah puisinya yang kukutip lengkap!
Untuk: Xavier Quentin
Aku Ingin Menulis
Selama napas masih, berdenyut
Aku ingin menulis ....
Selama masalah tak kunjung habis
Aku ingin menulis ....
Selama duka, sapi, bahagia masih mewarnai
Aku ingin menulis ....
Aku ingin menulis ....
Berbagi rasa sejuta
Mungkin tanggap ... sengap
Saat ... suara bergema
Membacakan sebait konsep
Tentang asa ... rasa ... 'tuk cinta
Aku ingin menulis ....
Dari,
Inge.
N.B. Yakinlah suatu ketika engkau bisa tunjukkan kepada dunia identitas dirimu! Tetaplah mengucapkan syukur kepada-Nya yang telah memberikan rahmat untuk menulis .... TETAPLAH MENULIS!!!
Aku agak terkejut membaca puisi di atas. Lho, dari mana dia tahu kalau aku senang menulis. Belakangan, aku tahu bahwa ada seorang temanku di Petra yang "mempromosikan" diriku di depannya. Menerima puisi yang penuh dorongan itu, tentu saja aku senang. Dan, setelah puisi itu kurenungkan dalam-dalam, aku pun mengambil pena dan menarikannya di atas memo yang kubawa.
Untuk: Inge
Aku Tetap Menulis
Selama ilham datang menjelang
Aku tetap menulis
Selama tema mewarnai kanvas jiwa
Aku tetap menulis
Selama jantung masih berdetak
Aku tetap menulis
Akan kugali diksi
Akan kugarap sajak
Akan kutimba kata
Akan kutata alinea
Aku tetap menulis
Berbahan kata, beralat pena
Aku tetap menulis
Mengubah diksi menjadi puisi
Aku tetap menulis
Mengolah abjad menjadi diktat
Selama nadi masih berdenyut
Aku tetap menulis
Membagi rasa
Membagi karsa
Membagi cita
Membagi cinta
UNTUKMU!
Dari,
Xavier Quentin Pranata
Ketika menerima puisi tersebut, Inge tersenyum. Manis sekali. Dia menjabat tanganku dengan erat. Dan, kami makin akrab. Pada waktu aku pulang kembali ke Surabaya, dia mengantarku dengan lambaian tangannya. Sebelum berpisah, dia menantangku untuk berlomba menghiasi media massa dengan tulisan. Dan, aku menyanggupinya.
Sejak saat itu, aku makin "gila" menulis. Rasanya tiada hari tanpa menulis. Akan tetapi, tulisanku masih tetap tulisan sekuler dan kukirimkan ke majalah maupun koran "dunia" juga. Ini membuat "iri" beberapa temanku, baik yang duduk di redaksi majalah kampus Genta maupun temanku di Sastra Inggris. Salah satunya adalah Santi Yunaita.
Dia begitu menggebu untuk ikut-ikutan menulis. Dia pun bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Pencinta Cerpen dan Puisi Cakrawala yang aku koordinir. Dia pun mulai menggeluti buku-buku tulis-menulis. Dan ... jerih payahnya tidak sia-sia.
Cerpen-cerpennya mulai bermunculan di majalah-majalah remaja seperti Mitra dan Gadis. Bahkan, ada satu karyanya yang kuanggap luar biasa. Cerpen itu berjudul Vas Bunga Berwarna Merah. Cerpen ini bercerita tentang konflik, baik jiwa dan raga, antara protagonis (tokoh utama) dengan adik kandungnya sendiri. Santi begitu manis mengolah cerpen ini sehingga karakter tokoh-tokohnya begitu hidup. Dia sudah bisa "masuk" ke dalam jiwa tokoh khayalannya.
Ternyata, apa yang kukatakan kepadanya dahulu menjadi kenyataan. Dahulu, rasanya masih kemarin, dia pernah bertanya kepadaku:
"Xavier, bagaimana sih caranya agar aku bisa seproduktif kamu?"
Aku, kalau tidak salah ingat, hanya mengatakan satu kalimat:
"Berlatih keras!"
Dan, hal itu kulakukan terus-menerus -- sampai detik ini!
Belajar mengarang seperti belajar bahasa. Makin sering kita berlatih menggunakan bahasa yang kita pelajari, makin fasih juga kita menggunakannya.
Poerwadarminta, dalam bukunya ABC Karang Mengarang, mengatakan, "Sesungguhnya kecakapan mengarang itu tak lain daripada kecakapan menggunakan bahasa dengan tulisan. Sekarang, karang-mengarang atau tulis-menulis sudah jadi bagian umum, bukan merupakan kegiatan yang luar biasa lagi."
Hal ini pun pernah diungkapkan oleh Dahlan Iskan. Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi koran Jawa Pos ini, dalam kata sambutannya pada Sarasehan Tahun Perdana Kelompok Diskusi dan Penulis Paradigma (3 Agustus 1986) di ruang Biru Jawa Pos, mengatakan:
"Belajar menulis, kata orang, mirip dengan belajar naik sepeda. Masih ingatkah Anda ketika Anda belajar naik sepeda dahulu? Apakah Anda membaca buku teori naik sepeda lebih dahulu? Atau, tiba-tiba saja, Anda bisa naik sepeda? Ataukah, Anda langsung saja memegang sepeda itu, kemudian mulai mencoba-coba sendiri? Ataukah, juga seseorang membantu memegangi sepeda itu agar tidak jatuh?"
Mungkin Anda akan menyanggah, "Naik sepeda lain dengan belajar menulis. Lagi pula, aku tidak berbakat. Para penulis itu sudah dari sananya pandai menulis."
Pendapat Anda itu ada benarnya. Memang, ada orang yang dari sananya diberi bakat menulis. Akan tetapi, banyak juga orang yang tidak mempunyai bakat menulis dan berhasil menjadi penulis yang baik. Bukankah kepenulisan, seperti halnya ilmu yang lain, dapat dipelajari dan dilatih? Lagi pula, agar seseorang bisa menjadi penulis yang baik, yang paling diperlukan adalah AKU, singkatan dari Ambisi, Kemampuan, dan Usaha. Writing is a matter of practice. Ya. Kepenulisan adalah masalah latihan.
S. Mara GD., penulis novel misteri terkemuka Indonesia yang sering disebut sebagai Agatha Christi Indonesia, mengungkapkan pendapatnya, "Saya yakin, unsur bakat bukan yang terpenting dalam melakukan sesuatu. Ketekunan, semangat, dan tidak mudah menyerah, itulah modal utama" (Jakarta-Jakarta edisi 21 Agustus 1988 dalam rubrik Reka Mereka).
Gary Provost, dalam bukunya One Hundred Ways to Improve Your Writing (100 Cara untuk Meningkatkan Penulisan Anda), berpendapat, "Bakat (dalam kepenulisan) memang diperlukan, tetapi cuma 10%, sedang yang 90% adalah kemauan dan latihan."
Wuri Sujatmiko, wartawan dan penulis, mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda. Dalam salah satu saresehan pers dan kepenulisan, dia bertanya:
"Mengapa tidak ada orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak berbakat 'bicara' dan kemudian memilih membungkam seumur hidup atau berbicara kalau amat dan sangat perlu saja? Bukankah menulis dan berbicara itu sama-sama merupakan alat komunikasi, dan sama-sama merupakan suatu keterampilan yang memerlukan latihan?"
Nah, dari pendapat lima orang pakar di bidang kepenulisan itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kepenulisan memang merupakan proses yang bisa dipelajari dan dilatih. Makin sering dan makin keras kita berlatih, makin cepat kita menjadi penulis.
Ingin bukti lagi?
Pada waktu aku masih kuliah di Petra, ada seorang pelajar SMA dari kota Malang yang mengirimiku surat dan menyatakan ingin belajar menulis dariku. Membaca keinginannya yang menggebu untuk segera bisa menulis, aku tidak tega untuk tidak segera membalas suratnya. Di dalam surat itu, kukatakan bahwa tidaklah tepat untuk belajar menulis dariku karena terus-terang saja, aku pun masih dalam taraf belajar -- sampai sekarang. Aku mengatakan kepadanya bahwa di antara aku dan dia tidak ada bedanya. Kami masih sama-sama belajar. Kalau aku lebih "bisa" menulis itu bukan karena kepandaianku, tetapi karena aku "lebih dahulu" belajar dan menerjuni dunia yang mengasyikkan itu.
Dia bisa mengerti. Dan, hubungan surat-menyuratku dengan cewek Malang itu berlangsung terus. Di dalam setiap suratnya, dia pasti mengirimkan cerpen yang harus aku analisis dan kuberi saran perbaikannya. Suatu ketika, entah siapa dahulu yang menghentikan kebiasaan ini, surat kami terhenti sama sekali. Suatu hari, aku membaca sebuah cerpen yang cukup menarik di salah satu majalah ibu kota. Cerpen itu tidak akan menarik perhatianku kalau di akhir cerpennya tidak dituliskan demikian:
"Buat guru menulisku: X. Q. P. di Surabaya."
Ternyata, "muridku" itu sudah bisa menjadi salah seorang penulis muda Indonesia yang cukup potensial. Mengapa kata "muridku" kuberi tanda kutip? Karena yang menjadi "gurunya" sebenarnya bukan aku. Aku hanya ikut memotivasi dia sedemikian rupa sehingga dia mau belajar keras. Kemauan itulah gurunya yang sebenarnya. Seandainya dia tidak mau belajar dan tidak bersedia berlatih keras dengan disiplin tinggi, usahaku akan sia-sia, bukan?
Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan, baik dalam acara jumpa pengarang, seminar, ceramah, diskusi, maupun saresehan kepenulisan dan kewartawanan, aku selalu menegaskan bahwa kemauan lebih penting daripada kemampuan. Kemampuan akan berkembang dengan sendirinya sesuai dengan kemauan kita untuk belajar.
Lagi pula, dari mana kita tahu kalau kita bisa menulis jika kita tidak pernah mencobanya? Karena itu, satu-satunya cara untuk mengetahui apakah kita bisa menjadi seorang penulis atau tidak adalah dengan cara mencobanya. Aku pun dahulu menggunakan sistem trial and error dalam perjalanan kepenulisanku. Salah, ganti. Salah, ulang, ganti. Salah, perbaiki, ganti. Sampai berhasil!
Menurut hematku, siapa saja yang bisa mencatat pelajaran sekolah atau kuliah, pasti bisa menjadi penulis. Bukankah sejak TK kita sudah diajari menulis? Dan, aku juga percaya bahwa banyak di antara Anda yang bisa menulis surat atau buku harian maupun agenda. Itu sudah merupakan pertanda yang baik bahwa Anda mampu menulis. Oleh sebab itu, cobalah dahulu sebelum menyerah.
Hayes B. Jacobs, seorang penulis Amerika yang amat terkenal, bukunya yang menjadi best seller berjudul How to Write and Sell Non-Fiction, tidak sim salabim lalu menjadi penulis. Tidak. Dia menulis sebanyak 277 kali baru dimuat. Anda bisa membayangkan kegigihannya, bukan? Sekali lagi, cobalah dahulu sebelum menyerah!
Kekuatan Media Tulis
Sering kali, orang menyamakan penginjilan dengan pelayanan firman atau pelayanan mimbar. Ada juga yang mengidentikkannya dengan kunjungan langsung kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus, misalnya dengan mengirimkan misionaris. Namun, seberapa banyak orang yang bisa sepenuh waktu melayani Dia dalam jalur ini? Dibandingkan jumlah penduduk dunia yang miliaran ini, orang yang benar-benar bisa dan terbeban untuk itu masih belum mencukupi. Di samping itu, ada negara-negara atau daerah-daerah yang amat rawan bagi utusan Injil. Hamba-hamba Tuhan yang dikirim, banyak yang pulang hanya tinggal nama. Anda tentu sudah melihat film The Mission, bukan?
Nah, di sinilah, media tulis berperanan. Media tulis bisa menjembatani atau mengisi kekosongan tersebut. Literatur Kristen yang sering juga disebut sebagai "utusan Injil tercetak" mempunyai beberapa kekuatan dan kelebihan, antara lain:
- Ia dapat pergi ke mana-mana tanpa dilihat sebagai orang asing;
- Lewat pos, ia dapat masuk sampai ke tempat-tempat di mana seorang penginjil tidak diizinkan masuk;
- Ia menyampaikan beritanya dengan rajin tanpa mengenal pembatasan waktu, istirahat, atau cuti;
- Ia mempersembahkan beritanya sesuai dengar kecepatan berpikir seseorang dan menurut kesenangan pembacanya;
- Ia memungkinkan si pembaca mendalami berita yang sama berulang-ulang;
- Ia adalah "pengkhotbah estafet" yang menyampaikan beritanya dari orang yang satu kepada orang yang lain;
- Ia memungkinkan si pembaca mempelajari satu bagian khusus dari berita yang menarik hatinya;
- Dalam bentuk buku, ia dapat memberi makanan rohani kepada mereka yang lapar berjam-jam, bahkan berhari-hari seperti khotbah bersambung yang tak ada putusnya;
- Pada umumnya tidak mahal, tetapi juga tidak kalah baik buahnya dibandingkan cara penginjilan lainnya;
- Dalam waktu sejam, ia dapat dibagikan kepada lebih banyak orang daripada jumlah rata-rata pengunjung gereja setiap Minggu pagi.
Para tokoh besar dunia pun mengakui dampak tulisan yang luar biasa ini. Apa kata mereka?
Napoleon Bonaparte: "Senjata api dan pena adalah kekuatan-kekuatan yang paling dahsyat di dunia. Akan tetapi, kekuatan pena akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan senjata api."
Benyamin Franklin: "Bila saja Anda memberi saya 26 serdadu, saya akan menaklukkan dunia!" Ketika ia ditanya apakah yang dimaksudkan dengan 26 serdadu itu, Franklin menjawab, "Huruf A sampai Z."
Martin Luther: "Selain keselamatan dari Tuhan Yesus, maka anugerah terbesar dari Tuhan yang lain adalah mesin cetak."
Perkataan Martin Luther sudah terbukti. Setelah mesin cetak berhasil dibuat, di Amerika terjadi panen jiwa yang luar biasa. Puluhan juta jiwa dibaptis. Di antara mereka yang dibaptis, 85% mengatakan bahwa mereka datang kepada Kristus karena bacaan-bacaan rohani dalam bentuk traktat, buku, dan majalah.
Pendeta Oswald Smith, gembala sidang People Church di Toronto, Kanada, mengatakan, "Saya sudah berkeliling dunia ke tujuh puluh negara sambil mencari cara manakah yang paling efektif untuk penginjilan sedunia. Dan sampai detik ini, yang bisa saya dapatkan adalah melalui media cetak."
Itu pendapat dari orang-orang Kristen. Bagaimana dengan orang dunia? Idem dito! Bahkan, sebagian dari mereka lebih "hebat" dari orang Kristen sendiri, terutama dalam hal profesionalisme dan kegigihan kerja.
Tokoh-tokoh komunis sudah menyadari dampak literatur ini. Sudah sejak lama, mereka menggunakan media cetak untuk indoktrinasi massa. Mereka menyebarkan dan menyuntikkan ajarannya dengan media literatur ini. Menurut sumber yang bisa dipercaya, saat ini 60% penduduk dunia berada di bawah bayang-bayang komunis, sebab bacaan komunis konon bisa diletakkan di telapak tangan manusia yang berderet sampai dua kali keliling bola bumi ini.
Saksi Yehova pun menggunakan metode yang sama. Musuh dalam selimut ini mempunyai unit cetak terbesar di Amerika Serikat. Pada tahun 1966 saja, telah dicetak 4.000 ton bahan bacaan yang disebar ke seluruh dunia. Akibat dari majalah-majalah Saksi Yehova yang disebarkan itu, beberapa tahun yang lalu, ketika mereka mengadakan KKR di Yankee Stadium dan Polo Ground, New York, selama 14 hari nonstop, 7.136 orang langsung minta dibaptiskan. KKR itu sendiri dihadiri oleh 180.291 jiwa. Padahal pada hari sebelumnya, Dr. Billy Graham mengadakan KKR di tempat yang sama dan jumlah yang hadir jauh lebih sedikit dari mereka.
Ketua Partai Komunis Cina, Mao Zee Dong, pernah menulis buku kecil bersampul merah dengan judul "Perkataan Mao". Hasilnya? Lebih dari satu miliar jiwa di RRC berpikir, berkata, dan berjalan berarak sesuai dengan kata-kata Mao tersebut. Luar biasa, bukan?
Melihat fenomena di atas, kalau kita tidak memulai sejak saat ini, kita akan ketinggalan kereta. Sekarang pun, kita sudah ketinggalan dengan media literatur sekuler. Lihat saja, berapa banyak buku dan majalah umum yang beredar saat ini. Jika literatur Kristen dibandingkan dengan literatur sekuler, jumlahnya amat memprihatinkan. Terutama di Indonesia.
Aku banyak mengenal para pemimpin redaksi majalah-majalah rohani yang ada di Indonesia. Kebanyakan dari mereka mengeluhkan satu hal: kekurangan naskah. Nah, tidakkah hati Anda terbeban untuk ikut membantu mereka? Bukankah beban yang berat jadi terasa ringan jika dipikul bersama?
Oleh karena itu, mulailah menulis. Seperti aku katakan di atas, jangan menunda-nunda pelayanan atau mengulur-ulur waktu karena alasan klise: tidak berbakat dan tidak bisa menulis. Bakdi Soemanto, dalam salah satu tulisannya mengatakan, "Jangan terlalu bertanya: bagaimana menulis, bagaimana menulis, tetapi ambil mesin ketik, atau ball point dan kertas dan mulai menulis."
What's Next? Quo Vadis Tulisan Anda?
Nah, setelah Anda berhasil menjadi penulis, tidakkah Anda ingin mengembalikan talenta yang Tuhan berikan itu untuk kemuliaan-Nya? Tuhan memang memberikan talenta yang berbeda kepada kita. Mungkin Dia memberikan "lines talents" menulis kepada kita. Mungkin dua talenta. Bahkan, mungkin hanya satu. Akan tetapi, berapa pun talenta yang Tuhan berikan, kita harus mengembangkannya.
Ada pepatah Inggris terkenal yang berbunyi "Use or Lose". Ya. Gunakan atau hilang sama sekali. Setelah Tuhan memberikan talenta dan mina kepada Anda, jangan sampai Anda berkata seperti hamba yang bodoh itu:
"Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan!" (Matius 25:24), atau:
"Tuan, inilah mina tuan, aku telah menyimpannya dalam sapu tangan. Sebab aku takut akan tuan, karena tuan adalah manusia yang keras; tuan mengambil apa yang tidak pernah tuan taruh dan tuan menuai apa yang tidak tuan tabur" (Lukas 19:20-21).
Apa jawaban Tuhan jika Anda berkata demikian?
"Hai hamba yang jahat, aku akan menghakimi engkau menurut perkataanmu sendiri. Engkau sudah tahu bahwa aku adalah orang yang keras, yang mengambil apa yang tidak pernah aku taruh dan menuai apa yang tidak aku tabur. Jika demikian, mengapa uangku itu tidak kauberikan kepada orang yang menjalankan uang? Maka sekembaliku aku dapat mengambilnya serta dengan bunganya." Lalu katanya kepada orang-orang yang berdiri di situ: "Ambillah mina yang satu itu daripadanya dan berikanlah kepada orang yang memunyai sepuluh mina itu" (Lukas 19:22-24; bandingkan dengan Matius 25:26-28).
Ya. Mulailah menulis dan setia dalam perkara yang kecil, maka Tuhan akan memercayakan bidang pelayanan yang lebih besar kepada Anda. Dengan mengirimkan tulisan Anda ke berbagai media massa, terutama media massa Kristen, Anda akan mendapatkan tiga berkat. Pertama, kemampuan Anda meningkat. Bukankah pisau yang diasah makin lama makin tajam? Kedua, Anda akan mendapatkan berkat rohani. Tulisan Anda akan menjadi berkat, baik bagi Anda sendiri maupun orang lain yang membacanya. Bagi yang belum mengenal Tuhan, mereka dapat Anda bawa kepada Dia lewat tulisan. Bagi yang sudah mengenal Kristus, Anda memperbarui iman mereka, bahkan menguatkan yang sedang lemah atau suam-suam. Ketiga, Anda akan mendapatkan berkat jasmani. Bukankah berkat jasmani menyusul setelah berkat rohani? Ada beberapa majalah yang memberikan "berkat pelayanan" berupa uang yang lumayan. Uang itu bisa Anda gunakan sendiri atau Anda kembalikan kepada majalah itu, itu hak Anda. Yang utama dan terutama, Anda telah mengembangkan talenta dan mina yang Tuhan berikan. Yuk, kita berlomba melayani Dia melalui pena!
"Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup -- itulah yang kami tuliskan kepada kamu." (1 Yohanes 1:1)
Audio Melayani Dia Melalui Pena
Diambil dan diedit seperlunya dari: | ||
Judul buku | : | Visi Pelayanan Literatur |
Judul artikel | : | Melayani Dia Melalui Pena |
Penulis | : | Drs. Xavier Quentin Pranata |
Penerbit | : | Yayasan ANDI, Yogyakarta 1989 |
Halaman | : | 87 -- 98 |