Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Karya Sahabat (HUT e-Penulis)
Tepat jam 5 sore dia menuntaskan ritualnya. Matanya memerah dan sedikit berair saat keluar kamar. Bagiku itu wajar-wajar saja. Dia memang selalu memasang berbagai macam wajah sebagai penutup ritualnya itu. Terkadang dengan senyum yang mengambang lebar, terkadang dengan air mata yang mengalir deras. Kali ini, cukup dengan bibir yang melengkung mengikuti gaya gravitasi bumi.
"Kenapa wajahmu cemberut begitu, Sayang?"
"Masa aku harus membunuhnya, Mas?" tanyanya.
Aku membalasnya dengan sebuah tatapan. Dia menarik nafas dalam-dalam, baru kembali membalasku. Tatapan yang sedari dulu membuat jantungku berdegup penuh makna. Tapi, lain halnya jika tatapan itu diiringi dengan perkara khayalnya lagi, perkara yang hanya membuatku sedih berpadu kesal.
"Jangan paksakan dirimu, Sayang. Hentikan saja ritual menulismu itu. Kita pergi liburan saja ya?"
"Ah, benar Mas! Kalau kita liburan, mungkin aku bisa dapat pencerahan untuk tulisanku, juga nasib karakternya."
Dia tersenyum senang. Aku tersenyum kecut.
"Bukan itu maksudku! Hanya aku dan kamu di Bunaken sebulan penuh. Tanpa alat tulis, tanpa laptop atau apa pun. Kenapa pula harus menghabiskan waktu dengan barang-barang itu?"
Lelaki mana yang tahan jika istrinya ini gemar selingkuh dengan dunianya sendiri? Laptop itu, maksudku, laptop jelek itu memunyai daya sihir untuk mengajaknya kencan selama tiga jam, setiap hari! Belum termasuk segala lamunan dan diskusi tentangnya. Apa mungkin dia terkena penyakit para penulis, schizophrenia? Gawat, aku harus segera menyelamatkannya. Dengan rayuan Bunaken ini, ada harapan menang!
"Kata Rumi, "Malaikat hanya mampu bersinar jika ia disiplin." Benar kan, Mas?" tanyanya.
"Lho, kalau disiplin itu bagus. Tapi, tergantung bidangnya, Sayang. Kalau untuk hobi menulis yang hanya membuang-buang waktu, lebih baik jadi wirausahawan seperti aku. Tidur saja kaya." gurauku sinis.
"Eits, hasil menulisku cukup banyak Mas!"
Bagus, sedikit emosi, batinku.
Dia diam sejenak. Lalu melanjutkan, "Yang terpenting aku menulis karena bagiku menulis adalah ekstasi. Ada dorongan kuat untuk mengekspresikan segala imajinasiku Mas. Ayolah, waktu menulisku hanya tiga jam. Sehabis itu, kita bisa bersenang-senang seharian menyelam dan menyaksikan karya Allah yang indah di Bunaken."
"Tidak bisa. Tidak usah pergi saja kalau begitu!" emosi berhasil mencengkeramku.
"Ya sudah, terserah kamulah. Aku lelah! Aku mau tidur di kamar dulu. Nanti kita bicara lagi." cetusnya ketus.
"Ah, wanita memang membingungkan!"
Bagaimana tidak sesak dadaku? Dia selalu begitu saat aku mengajaknya adu mulut. Aku ingin melampiaskan kekesalan ini dengan berdebat hingga tuntas, tetapi dia selalu saja mendadak melankolis di tengah-tengah percakapan seperti ini. Ah, jangan harap aku akan ikut-ikutan diam kali ini! Kugeledah rak buku itu, kuincar karya-karyanya. Yakinlah mereka bisa menjadi pelampiasanku.
"Kertas Waktu dan Ruang Sepanjang Masa"
Jadi ini judul konyol itu. Aku mulai membaca halaman pertama antologi karya istriku itu. Tidak masuk akal! Terlalu aneh! Terlalu bodoh, hinaku. Ada kenikmatan tersendiri menghakimi halaman demi halaman buku ini sampai-sampai aku nyaris tidak menyadari ada orang yang mengetuk pintu.
"Ya," sembari membuka pintu.
Aku tidak percaya pada mataku yang tertuju pada badut kerdil di depanku! Dia meraih tanganku dan menarikku untuk segera bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dari mana datangnya batu itu? Sebelum sempat memikirkan jawabannya, aku menyaksikan kegaduhan perang yang langsung menggentarkan lututku di depan kami. Kata si Kerdil, selain ambisi politik Gajah Mada, cinta Hayam Wuruk kepada Dyah Pitalokalah yang menyebabkan Perang Bubat ini. Kemudian dia menarikku lagi, "Lekas pergi!" tegasnya. Kurasa aku dibawa terbang jauh ke Roma dan menjadi saksi hidup cinta Kaisar Justinianus terhadap Theodora. Aku tercengang melihat sosok Theodora, seorang pelacur yang bangkit dari wilayah paling suram kota Roma itu menunjukkan dirinya sebagai wanita penakluk yang dahsyat. Dan ketika keadaan di kekaisaran Roma menggenting akibat hubungan kontroversial mereka, aku sekejap dibawa untuk menyangsikan sendiri cinta Rama kepada Shinta karena semata-mata mementingkan keperawanannya. Saat sedang asyik mendengarkan pertengkaran heboh antara dua kekasih itu, lagi-lagi ada yang mengusikku.
"Mas Rama, sayang, SAAAYAAANG!" Kali terakhir, istriku muncul tepat di depanku. Semua tokoh itu lenyap, hanya tinggal aku, buku dan dia.
"Asyik sekali bacanya."
Aku tertangkap basah memegang bukunya! Dia tersenyum kecil. Aku tersipu malu. Apa yang terjadi? Halaman demi halaman buku itu bukan lagi sekadar kata-kata. Tulisan itu mengajakku terbang bebas menjelajahi sudut-sudut waktu dan dunia, menembus batas-batas ras-suku-bangsa-ideologi, melangkahi tembok-tembok tradisi dan tabu.
"Mas mau melanjutkan pembicaraan Bunaken tadi?" tanyanya.
"Ya, ya, ya. Tentu saja kita jadi pergi, Sayang."
Istriku melihatku heran.
Sebelum dia sempat berkata-kata, aku berucap, "Tapi kali ini kita wajib bawa dua laptop, untukmu dan untukku."
Dia mengangkat alisnya, tersenyum lebar, "Pria memang membingungkan."
"Apalagi jika dia ingin jadi penulis."
-- Tr.A.P --
Sekadar memberimu inspirasi
Aku sempat melukis bianglala sehabis hujan
dan menyentuh beberapa awan yang sebelumnya hanya aku bayangkan
Kau pernah menjadi tawanan? Aku pernah
Dibuang dan diasingkan, hidup dalam ruang yang terbatas...
sungguh menyakitkan
Menjadi subjek yang diacuhkan
Menjadi seorang pahlawan yang dielu-elukan...
aku pernah mengalaminya
Memang, aku orang biasa
Tapi tulisan, seringkali mengajakku berpetualang hingga di padang
belantara yang luas, keramaian metropolitan yang hingar bingar,
bahkan sudut ruangan yang penuh debu dan gelap....
Aku mengenali banyak orang...
Aku bisa menjadi sahabat baik mereka
Bisa juga menjadi orang berkuasa yang tak menganggap mereka ada
Oh, sangat menyenangkan berkawan dengan rentetan kata yang terus
memaksaku untuk berkata fakta atau imajinasi belaka
Sekadar memberimu inspirasi,
"Dunia tidaklah selebar daun kelor"
jika kau mulai menggerakkan penamu
dan pastikan,
bahwa jari-jemarimu tak akan pernah berhenti
sebelum kau menemukan dunia yang baru....
-- santi_tileSTian --
240910
Di dalam tulisan, tersimpan kenangan...
membawa kembali rasa yang telah sirna...
menuliskan segalanya, agar kenangan tetap terjaga dan terkenang
sepanjang masa...
merangkai kata saat tak dapat lagi berkata-kata,
dan menuliskan segalanya menjadi sebuah karya....
dan saat kata tak lagi cukup untuk mengungkapkan, maka,
menulislah....
-- Yanne Takaendengan --
Kugoreskan tinta hitamku di atas selembar kertas
Mencoba mengungkapkan sesuatu yang bergejolak di dalam hatiku
Perih, pedih, suka, duka, semua yang berkecamuk di dalam dada
Kubiarkan penaku terus menari..
Tak kan kuhentikan langkahku
Tak peduli rintangan yang menghadang
Tak peduli mulut-mulut yang menggores luka
Tak peduli mata yang memandang hina..
Biarlah kurajut cerita
Membangun emosi jiwa yang telah lama tersiksa
Membebaskan pikiran yang terpenjara
Melahirkan sebuah karya yang bermakna..
-- Theresia Setyawati --
- 1316 reads