Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Sekali Lagi Maaf
Oleh SAMSUDIN BERLIAN
Maaf bukan kata generik, kecuali mungkin pada saat diucapkan sebagai bagian dari ritual, tradisi, atau sopan-santun basa-basi.
Setiap permintaan dan pemberian maaf adalah unik karena di balik itu terdapat peristiwa unik, pelaku unik, dan penderita unik. Minta dan beri maaf sejati tak bisa dilakukan dengan enteng tanpa mengacu pada substansi perkara yang menjadi dasar pernyataan itu, dan tak bisa diucapkan atau diterima oleh orang-orang yang tak berkaitan dengan peristiwa yang menjadi dasar interaksi permaafan itu.
[block:views=similarterms-block_1]
Itu sebabnya permintaan maaf Soeharto, mantan presiden, yang disampaikan putrinya, Siti Hediyati Hariyadi, memancing polemik. Permintaan maaf itu sebetulnya tak memenuhi satu pun dari ketiga unsur pembentuk maaf yang berasal dari hati. Lebih mirip pertunjukan daripada pengakuan, lebih terasa seperti penolakan daripada penyesalan, lebih berbau taktik strategi daripada ketulusan dan kepasrahan.
"Pak Harto adalah manusia biasa dengan segala kelebihan don kekurangannya. Untuk itu, selama 30 tahun beliau memim1pin bangsa in, ada hal-hal yang tidak berkenan dan ada kesalahan-kesalahan beliau buat, kami mohon maaf," katanya sebagaimana dikutip Kompas, Minggu, 21 Mei 2006.
Ada dua jurus akrobatik bahasa yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, kesalahan Soeharto ialah kesalahan manusia biasa. Dengan kata lain, siapa pun yang menjadi presiden, selama dia manusia, akan melakukan kesalahan yang sama karena kesalahan itu terjadi justru sebagai akibat fitrah kemanusiaannya.
Pernyataan in menyangkal dimensi etika manusia, menafikan pertanggungjawaban sebagai fitrah termulia manusia dalam hubungan dengan sesama. Memang setiap orang punya kesalahan, dan kesalahan seorang presiden bisa punya akibat panjang berantai. Namun, tak setiap orang yang jadi presiden akan memerintahkan orang ditembak seperti binatang buruan, atau menggarap harta negeri seperti mengelola perusahaan keluarga.
Orang yang khilaf adalah manusia biasa dengan kesalahan yang tak bisa dielakkan manusia biasa. Orang baik-baik pun bisa melakukannya. Namun, orang yang mencuri dari rakyat dan negeri selama puluhan tahun adalah manusia biasa dengan kesalahan yang sangat bisa dihindari manusia biasa. Orang baik-baik tidak akan melakukannya.
Kedua, perhatikan "ada hal-hal yang tidak berkenan". Bagian kalimat ini perlu diperbaiki dulu. Berkenan berarti "merasa senang atau menyetujui". Tentu yang sebetulnya akan dikatakan bukan "ada hal-hal yang tidak menyetujui", tapi "ada hal-hal yang tidak disetujui" dengan asumsi bahwa yang tak menyetujui adalah "bangsa ini" atau rakyat banyak pada umumnya.
Lewat pernyataan ini, seluruh beban persoalan diletakkan di pundak rakyat. Kalau rakyat tidak setuju, kami minta maaf. Kalau rakyat setuju?
Dengan menenggelamkan intisari permasalahan dalam pernyataan generik tentang kesalahan umum, substansi perkara menjadi kabur. Dan dengan mensyaratkan persetujuan rakyat terhadap adanya kesalahan, si peminta maaf mempermaklumkan bahwa bukan pihaknya yang merasa bersalah, tapi ada orang banyak yang tak berkenan. Ada keterpaksaan di sini, dan pemaksaan tidak pernah melahirkan permintaan maaf yang tulus.
Tinggallah unsur ketiga, pihak yang dimintai maaf. Dalam kasus ini tampaknya yang harus memberi maaf ialah rakyat Indonesia. Namun, bagaimana caranya? Mereka yang sudah menyatakan memaafkan ialah para politikus yang memang mungkin berhak melakukannya atas nama rakyat. Masalahnya hanyalah bahwa sebagian besar dari mereka bukanlah korban, malah banyak yang ikut menikmati "kesalahan" itu dengan nyaman.
Pernyataan itu pun mengabaikan sama sekali satu kelompok lagi yang seharusnya paling berhak memberi maaf, kalau mereka mau. Merekalah para korban langsung dari kesalahan penguasa selama masa 30 tahun itu. Mereka bisa petani, nelayan, masyarakat adat, minoritas, kelompok etnis tertentu, mahasiswa, orangtua yang anaknya dihilangpaksakan, dst. Namun, karena kesalahan tidak dirinci, kelompok ini pun terpinggirkan sekali lagi. Nasib.
Pada akhirnya pernyataan maaf sepihak itu terasa kosong dan palsu karena tidak ada interaksi antara peminta dan (calon) pemberi maaf. Tidak ada penyesalan dan pengakuan bersalah dari peminta dan tidak ada kerelaan dan kelegaan dari yang diminta. Tidak ada pengungkapan kebenaran. Tanpa kebenaran, tidak ada maaf.
Penulis Seorang Pemerhati Bahasa
Sumber : Kompas, Jumat 16 Juni 2006, Hal 15
- 5488 reads