Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Genit
Memilih kata di dalam berbahasa pada praktiknya tidak mudah. Akan selalu ada kata yang terasa kurang persis mewakili suatu maksud. Namun juga, akan selalu ada godaan bergenit-genit, memamerkan berbagai model gaya. Hal ini dapat di lihat dalam penggunaan kata. Ada penulis yang tergoda untuk lebih mengutamakan efek -- entah kemerduan bunyi, kesan intelektual, atau cuma ingin beda sendiri -- daripada keperluan menyampaikan pengertian yang jelas. Hal ini biasanya diusahakan melalui pemakaian kata-kata yang pelik-mungkin bentuk arkais [berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno, tua; tidak lazim dipakai lagi (tentang kata); ketinggalan zaman, Red], mungkin dicomot dari bahasa asing, atau mungkin pula yang terkesan dibuat-buat, seperti: "dicermatmaknai", "berjumpa-kenal".
Mementingkan efek, ketimbang keperluan menyampaikan pengertian yang jelas itu, dilakukan mungkin demi memikat pembaca, satu hal yang jika dikerjakan tidak dengan hati-hati, dapat mengakibatkan pesan menjadi kabur. Sebaliknya, apabila seorang penulis mampu menggarap dengan tepat dan tekun dengan terus-menerus, boleh jadi ini justru dapat melahirkan idiosinkrasi, gaya dia seorang. Tapi bayangkan jika seorang penyair berkilah, bahwa ia secara sadar dan sengaja, sedang bereksperimen mendobrak kaidah tata bahasa dalam puisi-puisinya. Padahal, ada bagian yang memperlihatkan, bahwa ia tidak memahami benar perbedaan cara menuliskan "keluar" dan "ke luar".
Entah apa gerangan yang mendorong para penulis bergenit-genit, tanpa mengerti kaidah bahasa yang mendasar seperti itu, atau sekurang-kurangnya menampakkan sikap abai.
Itukah yang disebut "Licentia Poetica"? Boleh jadi soal ini tidak asing, atau jangan-jangan malah sudah cukup sering "mengganggu" dalam dunia tulis-menulis. Konsep penting demi kreativitas dalam dunia tulis-menulis yang diperkenalkan filsuf Romawi kelahiran Kordoba, Lucius Annaeus Seneca, di negeri kita beberapa waktu belakangan tampaknya malah menjadi tempat banyak penulis bersembunyi dan mencari suaka. Mungkin inilah salah satu pokok persoalan yang paling membuat pening kalangan penyunting. Konsep tersebut seolah telah menjelma menjadi hukum yang tampaknya cenderung lebih memihak dan memanjakan penulis.
"Licentia Poetica" adalah semacam lisensi, izin tak tertulis yang dikantongi penyair, untuk menyimpangi kaidah bahasa demi mencapai efek tertentu yang dia inginkan. Kemudian, entah bagaimana keleluasaan ini seolah-olah dianggap menjadi milik sastrawan pada umumnya, bukan hanya yang menulis puisi. Inilah kuasa sastrawan menabrak rambu-rambu bahasa, demi pengungkapan nilai-nilai artistik yang dengan demikian dipandang lebih penting dari aturan bahasa. Apakah "efek" atau "nilai-nilai artistik" ini, kalau bukan sebuah kualitas atau sifat, sebentuk kesan yang terasakan oleh pembaca? Yang jadi soal sebenarnya bukan "bagaimana membuat", tapi "bagaimana menyampaikan" efek, nilai artistik, atau kesan itu kepada pembaca. Perbuatan melanggar bukanlah sebuah tujuan, melainkan sarana belaka. Jalan berpikir ini mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa, kebebasan dalam "Licentia Poetica" bukan dimaksudkan untuk membuat (baca: mencari-cari) efek alias bergenit-genit, melainkan lebih menyerupai alat bantu bagi penulis, guna menerabas kebuntuan dalam keadaan darurat.
Lisensi ini sebetulnya bekerja dengan sejumlah asumsi: pertama, mereka yang melaksanakannya sungguh-sungguh terdorong oleh keperluan menyatakan satu hal, tapi ia merasa terhambat oleh daya ungkap bahasa. Ini mengisyaratkan bahwa penyimpangan kebahasaan olehnya tadi, adalah suatu tindakan darurat, setelah ia habis-habisan menjelajahi pelbagai kemungkinan yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Kedua, mereka yang mempraktikkannya tahu, sadar akan apa yang ia langgar. Artinya, sebenarnya si pelanggar mafhum akan hukum atau kaidah bahasa yang berlaku.
Pertanyaannya kemudian, bisakah seseorang melanggar aturan bahasa, demi "Licentia Poetica", padahal seperti sudah disinggung di atas, ia tidak tahu perbedaan cara menuliskan "ke luar" dan "keluar" dalam kalimat? Tidak tahu perbedaan kata depan dan awalan? Tidak tahu kaidah bahasa Indonesia yang sangat mendasar, elementer, dan mungkin sekali itu sebabnya ia bersembunyi di sana, di balik "mantra" Licentia Poetica?
Melanggar aturan bahasa demi "Licentia Poetica" adalah satu hal, sedangkan buta kaidah bahasa Indonesia adalah hal lain. Kedua hal itu saya kira tidak dapat diperbaurkan. Bagi saya, kepatuhan pada kaidah dalam berbahasa bukan menunjukkan sebuah sikap taat, tunduk, melainkan wujud rasa hormat kepada, dan rasa bangga terhadap norma, yaitu norma-norma bahasa Indonesia yang memang sudah sepatutnya kita junjung bersama.
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Rubrik Bahasa |
Alamat URL | : | https://rubrikbahasa.wordpress.com/2009/05/04/genit/ |
Penulis | : | Eko Endarmoko |
Tanggal akses | : | 25 Juli 2011 |