Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Pelukis Merupakan Celeng

Penulis : Nirwan Dewanto
Datang pada penghujung sebuah pesta kecil ulang tahun, seorang perempuan kulit putih berkata, "Maaf, saya terlambat karena saya harus meniduri bayi saya." Saya tahu, sudah bertahun-tahun ia berbahasa Indonesia.[block:views=similarterms-block_1]
Konon, bahasa kita adalah bahasa yang mudah. Juga bagi penutur asing. Berlainan dengan bahasa-bahasa Barat, bahasa Indonesia yang tidak mengenal perubahan kata kerja berdasarkan kala peristiwa maupun jenis subyek- adalah bahasa yang gampang dipelajari dan diamalkan. Ternyata tidak sama sekali. Lihatlah, misalnya, kiprah awalan "me-"
Mestinya si perempuan berucap "menidurkan", bukan "meniduri". Pun ia harus tahu, kata yang terakhir ini berlumur patriarki, yaitu bahwa subyek kalimat pastilah jantan.
Ia belum masuk benar ke rasa bahasa atau adat berbahasa. "Menidurkan" adalah membuat obyek (ter)tidur. Tetapi "meniduri orang" sama sekali tak mengandung kondisi tidur subyek maupun obyek. Kata kerja terakhir ini tidak bisa berarti lain kecuali menyetubuhi, mungkin sekali dengan kasar atau tak senonoh. Itulah arti yang diberikan oleh lingkungan budaya, oleh adat berbahasa, bukan oleh tata bahasa.
Demikian pula dengan misalnya, "menggauli istri", yang Anda sudah tahu artinya: menyetubuhi istri, siapa tahu kali ini dengan sedikit sopan. Tak pernah ada "menggaulkan", meski boleh-boleh saja kelak kita, dengan agak nakal, menggunakan atau mempergunakan? kata itu untuk menunjuk bahwa si obyek lebih giat daripada si subyek dalam melepaskan gairah berahi.
Lihat bagaimana "me-" dalam "meniduri", "menyetubuhi", "menggauli", dan menggagahi" mengubah sama sekali arti yang dikandung kata dasar. Betapa awalan ini memihak kaum jantan.
Namun sepak terjang "me-" ternyata lebih membingungkan daripada yang kita duga selama ini.
Ambillah "menguliti", misalnya, yang dalam pemakaian umum kini hanya tunggal arti, yaitu mengelupas kulit dari tubuh. Semestinya ada arti kedua, paling tidak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu memberi kulit kepada benda tertentu, jok mobil misalnya tapi siapa lagikah yang masih menggunakannya? Untuk yang kedua ini, saya kira "mengulitkan" lebih tepat, namun saya belum pernah mendengar atau membaca bentuk ini terpakai. Oh, kita terikat pada adat berbahasa.
Pernah kepada seorang Indoensianis, saya berkata bahwa Amir Hamzah mengawali puisi modern Indonesia. Tetapi menangkap "mengawali" sebagai "mengawal" atau "menjaga". Maksud saya tentulah bahwa si penyiar adalah sang pemula atau perintis. Namun, dari segi tata bahasa (dan juga semantika), jelaslah si ilmuwan asing tidak keliru. Sebab, "mengawali " dengan kata dasar "kawal" berarti juga "mengawasi". Tapi mungkinkah penyiar yang wafat pada 1946 itu mengawasi puisi yang lahir setelah masanya?
Pun betapa ganjil bahwa pada akhirnya "merupakan" menjadi sekadar sinonim "adalah". Namun, itulah kenyataannya. Kenapa kata kerja itu tak lagi bisa berarti lain, misalnya "membuat rupa" atau "membuat lebih serupa"? maka, suatu hari saya menulis, "Pelukis Djoko Pekik merupakan celeng." Lihatlah, saya sedang mencoba bertindak kreatif sekaligus mengamalkan tata bahasa baku. Tentulah maksud saya begini: si pelukis mengangkat bentuk babi hutan ke kanvasnya sebagai sesindiran politik. Sejenak kemudian saya ragu: mana yang benar- "merupakan" ataukah "merupai"? yang pasti, si pelukis tak menyerupai babi hutan.
Nah, bukankah "me-" kian pelik saja adanya? Bukan saya yang membuatnya begitu, melainkan adat berbahasa. "Orang itu baru saja meninggal" jelaslah keliru dari sudut tata bahasa, tapi kita semua pastilah berkali-kali mengatakan, kalimat seperti itu sebab, kita yakin akan kebenaran atau kebetulan? yang dikandungnya. Yang salah pun menjadi benar karena dilazimkan oleh dan bagi semua orang. "Meninggal" adalah pemendekan yang sewenang-wenang dari "meninggalkan dunia".
Seumur hidup saya, mungkin juga sepanjang sejarah Indonesia, "mengakibatkan" selalu sama dengan "menyebabkan". Bila arti dua kata itu adalah "membuat akibat" dan "membuat sebab", sesungguhnya kedua bertolak belakang. Bila kita bersepakat dengan penjelasan ini, maka kita tidak dapat lagi berkata, misalnya, "hujan lebat semalaman menyebabkan banjir di mana-mana" tetapi "banjir di mana-mana menyebabkan hujan semalaman." Anda bingung? Kalau ya, Anda pasti berpegang pada adat kebiasaan, bukan pada nalar, pada tata bahasa.
Bahan dari:
Sumber : Majalah Tempo 4 Desember 2005
Penulis : Nirwan Dewanto

Komentar