Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Membaca (Buku) Saja Belum Cukup

Penulis : Anton Kurnia

rangsang atau inspirasi itu adalah kurang lebih denyaran (glimp) atau kesan belaka dari sesuatu kehadiran, yang kepada kita dikodratkan untuk mencetuskannya."
(Iwan Simatupang dalam Kurnia JR, Inspirasi)

Apakah dengan banyak membaca buku lalu secara otomatis kita akan mudah menuangkan ide kita dalam bentuk tulisan? [block:views=similarterms-block_1]Demikian salah satu pertanyaan yang muncul dari peserta saat acara talk show Membangun Komunitas Baca dan Tulis, 20 Maret 2003. Acara yang dilangsungkan di Pusat Studi Jepang kampus baru Universitas Indonesia, Depok, merupakan kerja sama Panitia UI Book Festival 2003 dengan majalah Matabaca dan Pustaka-Pustaka 97,4 Jakarta News FM. Kebetulan pada acara itu penulis hadir dan terlibat dalam diskusi tersebut.
Sering kali kita menghubungkan antara minat baca dengan kemampuan menulis. Jadi, kalau kegiatan membaca sudah menjadi kebiasaan hidup, dengan sendirinya kita dengan mudah untuk menulis. Hubungan antara membaca dengan menulis sangat erat, meski tidak seketat antara mendengar dengan berbicara. Untuk dapat menulis, kita harus banyak membaca. Membaca adalah sarana utama menuju keterampilan menulis. Membaca memberikan berbagai tenaga dalam yang sangat dibutuhkan seorang penulis, dan tenaga dalam ini tidak bisa diperoleh dengan cara lain (Ismail Marahimin, Menulis Secara Popular, Pustaka Jaya, Jakarta, 1994; 17).
Anggapan tersebut tidak salah meskipun tidak seluruhnya benar. Ada juga di sementara orang, membaca sudah menjadi kebiasaan hidup, tapi tetap saja sangat sulit memulai menulis. Tentu akan timbul pertanyaan, apakah mungkin seseorang dapat menulis padahal tidak pernah atau jarang membaca buku?
Selama ini rendahnya kegiatan kepenulisan di-mahfumi hanya bersumber pada ketidakmampuan seseorang terhadap skill teknis menulis. Misalnya, rendahnya kemampuan bahasa tulis, resam bahasa, tidak memahami kaidah jurnalistik, dan sebagainya. Betul, bisa jadi seseorang kesulitan menulis disebabkan oleh faktor-faktor teknis tersebut, tapi ada satu faktor lagi dan menurut penulis jauh lebih penting yaitu faktor nonteknis, berupa keinginan untuk menulis (willingness to write) itu sendiri. Sebagai human being, setiap manusia mempunyai tiga peranan (role), yaitu sebagai makhluk diri, makhluk organisasi/masyarakat, dan makhluk Tuhan. Oleh Tuhan, manusia diberi sebuah anugerah paling unggul, yakni kebebasan untuk berkehendak yang dalam bahasa Ali Syariaati disebut sebagai free to will atau kebebasan untuk mengungkapkan eksistensi guna memaknai keberadaan diri.
Hairston dalam Nursisto (2000) mendiskripsikan manfaat menulis, di antaranya sebagai sarana menemukan sesuatu, dapat memunculkan ide baru dan sarana mengungkapkan diri, melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep, membantu menyerap dan memproses informasi, melatih berpikir aktif serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa. Tugas kemanajeran Tuhan yang diberikan kepada manusia tidak hanya bertujuan membentuk manusia bertahan hidup (to make a living), tapi juga mengembangkan kehidupan lebih bermakna (to lead a meaningful life) serta turut memuliakan kehidupan (to ennoble life). Selain itu, membentuk pribadi-pribadi yang dihayati oleh nilai-nilai universal dan sadar bertindak mengatasi diri serta realitas yang menindas. Manusia harus mampu memahami keberadaan diri dan lingkungan dunia karena mempunyai kepribadian dan eksistensi (Mansor Fakih, 2001).
Agak sulit bagi penulis, membuat sebuah kesimpulan bahwa rendahnya aktivitas kepengarangan/kepenulisan tergolong sebagai masalah personal (individual problem) atau permasalahan sosial (social problem). Atau barangkali kedua problem tersebut hadir secara bersamaan menjadi penyebab rendahnya budaya baca-tulis. Paling tidak, kesimpulan tersebut ditarik atas dasar dua kenyataan: pertama, banyak orang membaca buku dan teks tertulis lain, tetapi tidak mampu menulis; kedua, dunia kepenulisan di Indonesia masih jauh dari ketegori menggembirakan.
Menulis; Masalah Sosial
Pemahaman terhadap keringnya budaya menulis sebagai masalah sosial akan membawa kita pada kenyataan Indonesia di masa lalu yang penuh dengan praktik rezimentasi, pembentukan mental serdadu-penyeragaman, tidak hanya pada tataran fisik (seperti pakaian dan sepatu seragam), tapi juga juga penyeragaman terhadap pemikiran (isi otak). Kegiatan diskusi, menulis, dan membaca buku dilarang, sehingga potensi kreativitas yang dimiliki golongan muda tidak pernah kunjung aktual. Mau bukti?
Pada 14 Oktober 1981, empat mahasiswa Universitas Indonesia dipecat rektor mereka. Alasannya karena mengundang Pramoedya sebagai salah satu pembicara dalam sebuah diskusi di dalam kampus, 24 September 1981. Yang tentu saja mendapat bonus penahanan di luar hukum berupa siksaan aparat militer. Tujuh tahun kemudian, tiga pemuda di Yogyakarta ditangkap, ditahan, disiksa sebelum diadili, kemudian divonis berat dengan tuduhan subversi. Alasannya juga tidak jauh berbeda dengan rekan mereka di Jakarta: memiliki, membaca, mendiskusikan, dan mengedarkan beberapa novel karya Pramoedya. Mereka dihukum penjara antara tujuh hingga delapan setengah tahun pada usia mereka belum lagi 30 tahun (1000 Tahun Nusantara, Editor: J.B. Kristanto, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2000; 545-546).
Dengan pengungkapan yang ironi, menyayat dan mengaduk-aduk habislah sisi dalam dari perasaan manusia, seperti yang diungkapkan Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen Pelajaran Mengarang (Penerbit Buku Kompas, 1993; 9-15) yang menceritakan betapa susahnya Sandra (10 tahun), salah satu dari 40 siswa Ibu Guru Tati. Saat itu, Ibu Guru Tati memberi tugas mengarang dengan tiga pilihan judul yang sudah ditentukan: Keluarga Kami yang Berbahagia, Liburan ke Rumah Nenek, dan Ibu. Kebingungan menyelimuti Sandra lantaran kenyataan hidup yang ia jalani sama sekali tidak ada yang sesuai dengan ketiga judul tersebut. Bagaimana bisa menulis tentang keluarga kami yang berbahagia sementara ayahnya tidak jelas siapa? Begitu pula dengan liburan ke rumah nenek, orang yang ia sangka sebagai neneknya lantaran kesamaan ciri biologis nyatanya seorang mucikari. Judul ketiga tentang ibu, Sandra juga mengalami kebing ungan yang tak kalah pilunya. Hingga pada detik-detik akhir dari 60 menit waktu pelajaran mengarang, Sandra hanya dapat menulis kalimat pendek, Ibuku seorang pelacur.
Masih tentang menulis sebagai masalah sosial, deskripsi menarik dilontarkan oleh Eep Saefulloh Fatah saat berdiskusi di Teater Arena, Taman Budaya Solo, 1 Januari 2000 yang kemudian dibukukan dalam Provokasi Awal Abad: Membangun Pancadaya Merebut Kembali Kemanusiaan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000; 66). Semestinya ketika anak-anak didik masuk ke ruang kelas, atau duduk-duduk di tepi danau, atau di rumput, maka si anak dibiarkan untuk menulis tentang capung yang sedang terbang. Dia bisa menulis tentang rumput yang terinjak, kering dan mati. Tentang rambut gurunya yang tergerai panjang, yang mempesonakan dia. Atau menulis ingusnya yang keluar terus sementara ia harus menyelesaikan pekerjaan menulis itu. Tentang kaosnya yang baru, gurunya yang tidak pernah diperhatikan ketika bercerita karena selalu bertele-tele. Dia bisa menulis tentang apa pun, dalam kalimat yang sependek atau sepanjang apa pun . Kalau ini yang kita lakukan di sekolah, betapa dahsyat suasana kepengarangan, dunia penulisan, di tempat kita sekarang. Betapa banyak orang akan bisa jadi penulis.
Atas dasar pijakan ini rendahnya budaya menulis sebagai masalah sosial perubahan yang harus dilakukan melalui strategi reedukatif berupa perubahan sistem, nilai, perilaku, termasuk perubahan dalam sasaran pendidikan. Artinya, perubahan tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, tapi harus bersama-sama/kolektif. Melibatkan seluruh stakeholders (penerbit, penulis, toko buku, keluarga, komunitas pecinta baca-tulis, pelajar, mahasiswa dan institusi pendidikan) dan shareholders (pemerintah kota dan atau kabupaten, Dinas Pendidikan Nasional dan tentunya pemerintah pusat/Dewan Buku Nasional).
Menulis; Masalah Personal
Pemahaman keringnya budaya menulis sebagai problem personal / individual ketiadaan willingness to write bukan sesuatu yang otonom, tidak muncul begitu saja, secara kebetulan. Namun, lebih merupakan akibat ketimbang sebab, lebih merupakan respon ketimbang aksi. Penyebab awal adalah kegagalan dalam membaca teks tertulis (buku dan bahan bacaan lain). Berangkat dari pemikiran Karlina Supelli (dalam Alfons, 1999; 67), teks mempunyai hak atas makna tetapi pembaca mempunyai hak yang sama untuk mencipta makna. Karlina mengutip apa yang dikemukakan Gadamer: membaca memungkinkan terbentuknya persimpangan antara dunia kehidupan pembaca dan dunia teks sehingga berlangsung tindakan eksistensial pembaca yang membuat makna sendiri atas teks; pembaca seperti menerapkan makna tekstual ke dalam kehidupan konkretnya; berpartisipasi di alam kesamaan makna yang ada di dalam teks. Puncak pemahaman atas sebuah karya tulis tercapai ketika pembaca memahami dirinya lebih baik, memahami dirinya dengan cara yang berbeda. Secara sederhana, pembaca mampu melakukan kemungkinan-kemungkinan dan keberlangsungannya, lewat apa yang ia baca.
Buku bukan hanya jendela dunia, melainkan di dalam buku ada hidup dan kehidupan itu sendiri. Karena membaca bukan suatu kegiatan yang ditambahkan melainkan yang berjalin dengan makna teks. Para pembaca adalah pencipta-bersama makna. Teks menjadi sebuah kehadiran yang mengatasi kungkungan waktu.
Masih menurut Karlina mengiyakan yang dikemukakan Virginia Woolf cara terbaik untuk membaca adalah dengan (juga) menulis. Dengan menulis, seorang mencoba bereksperimen dengan bahaya kata-kata dan kesukarannya. Membaca bukan bagian terpisah dari menulis. Keduanya pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis yang independen, pembangkit kepekaan terhadap kemanusiaan.
Sebenarnya penulis hanya ingin mengatakan bahwa ketidakmampuan kita menulis di samping buah kegagalan dalam memaknai/membaca teks, kita juga gagal dalam membaca konteks-kejadian alam, fenomena sosial, perilaku makhluk, sehingga berakibat kepada kebebalan empati, ke-cuek- kan terhadap diri yang sebenarnya gagal dalam memaknai eksistensi hidupnya. Induk ayam saja cemas meninggalkan anak-anaknya di dalam sangkar yang tak aman. Tetapi manusia yang berakal bisa tenang melihat masyarakatnya nyaris terancam bencana. (Muhammad Zuhri,1996).
Ada dua tesis untuk menjelaskan korelasi baik positif maupun negatif antara kebiasaan membaca dengan keterampilan menulis. Pertama, membaca hanya bersifat fungsional. Kedua, bersifat alfabetis (teknis). Berdasarkan publikasi yang dikeluarkan UNESCO Statistical Year Book 1993 yang dilansir Tiras 10 Mei 1996 berjudul Indonesiaku Kurang Buku menunjukkan tiga kenyataan.
Pertama, 84 persen penduduk kita melek huruf padahal rata-rata negara berkembang hanya 69 persen. Kedua, jumlah tiras seluruh surat kabar hanya 2,8 prsen dari jumlah penduduk. Indeks minimal UNESCO sekitar 10 persen sementara di negara industri mencapai 30 persen. Ketiga, jumlah buku baru yang diterbitkan 0,0009 persen dari total penduduk yang artinya 9 judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Rata-rata negara berkembang 55 per satu juta penduduk. Negara maju 513 judul buku per satu juta penduduk (Daniel Dhakidae, 1997;187). Dari data statistik di atas dapat kita temui sebuah kenyataan bahwa melek huruf ternyata tidak selalu berkorelasi positif terhadap tingkat perkembangan penulis/pengarang yang tercermin pada jumlah buku dan media baca lainnya. Menanggapi kenyataan ini , Ignas Kleden (dalam Alfons, op.cit; 9) membedakan melek huruf menjadi tiga kategori. Pertama, mereka yang tergolong secara teknis dapat membaca tetapi secara fungsional dan secara budaya sebetulnya buta-huruf. Penyebabnya bisa karena jarangnya bahan bacaan, atau sifat pekerjaan mereka yang menyebabkan tidak punya waktu untuk mempraktikkan kemampuan membaca yang dimiliki.
Kedua, mereka yang tergolong membaca dan menulis sebagai fungsi yang harus dijalankan karena konsekuensi pekerjaan. Akan tetapi, sangat kurang sekali menjadikan membaca dan menulis sebagai kebiasaan untuk berkomunikasi dan berekspresi melalui tulisan. Coba tanyakan pada kelompok ini, berapa surat pribadi yang pernah ditulis dalam setahun atau jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli bacaan selama setahun. Kelompok ini secara teknis dan fungsional tergolong melek huruf, tapi masih buta huruf secara budaya.
Ketiga, orang-orang yang di samping mempunyai kesanggupan baca-tulis secara teknis dan fungsional, menjadikan baca-tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, dengan membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan mereka. Dalam kategori ketiga ini, kebutuhan untuk mendengar dan berbicara tidak selalu lebih besar dari kebutuhan untuk membaca dan menulis.
Ketidakmampuan seseorang untuk menulis lantaran telah gagal dalam membaca kenyataan di lingkungannya kendati ia rajin membaca buku dan teks tertulis lainnya. Atas dasar tesis ini, penulis lebih memilih mengartikan membaca sebagai proses menghimpun, menyampaikan, mendalami, meneliti dan mengetahui. Maka menjadi wajar jika seseorang dikatakan mempunyai kebiasaan membaca yang tinggi, tapi tetap mengalami kesulitan menulis. Sebaliknya, ada sementara orang yang aktivitas membacanya (tekstual) boleh dibilang biasa-biasa saja, tapi arus kreasi tulisannya terus mengalir.
Sapardi Djoko Damono dalam sebuah tulisan berjudul Keterampilan Bahasa dan Menulis, yang terkumpul dalam buku Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia dan Sastra-Struktur, Humanistik, Komunikatif dan Pragmatik (Editor: Muljanto Sumardi, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996; 186) menegaskan bahwa membaca tidak lagi sekadar bisa membedakan antara huruf m dan n, dan menulis tidak lagi sekadar bisa membubuhkan titik (.) pada huruf i. Membaca hendaknya mencakup kemampuan yang semakin tinggi untuk memahami dan menghargai berbagai macam karangan. Menulis mencakup kemampuan yang semakin lama semakin unggul untuk menuangkan pikiran dan perasaan secara tertulis.
Membaca saja tidak cukup, harus ada upaya melakukan kontemplasi perenungan-perenungan, sekaligus jalan-jalan melihat realitas sehingga pemahaman kita terhadap sesuatu akan utuh, tidak parsial. Karena tidak jarang yang tertulis (das sollen) di buku berbeda dengan yang sebenarnya terjadi (das sien). Membaca menjadi sarana awal seseorang mengenal realitas kehidupan sesungguhnya.
Perempuan, Seks, dan Sastra
Belakangan ini terjadi polemik dalam berbagai diskusi serta sejumlah media massa mengenai fenomena munculnya para perempuan penulis muda yang hadir dengan karya-karya bermuatan seks. Banyak pandangan yang pada intinya menyiratkan kekhawatiran atas merebaknya fenomena tersebut. Mengamati polemik itu, saya melihat bahwa yang diresahkan oleh banyak kalangan adalah karena mereka yang giat mengeksplorasi tubuh manusia ini nota bene para perempuan, tepatnya perempuan muda. Begitulah, banyak orang ribut soal seks dalam sastra kita belakangan ini hanya karena yang menuliskannya seorang perempuan!
Kontroversi mengenai seks atau gambaran tentang hal-hal yang erotis dalam karya sastra kita sebenarnya sudah sering terjadi. Pada masa kolonial, terjadi polemik terselubung antara tokoh-tokoh Balai Pustaka dengan orang-orang di luar Balai Pustaka. Dalam Nota Rinkes, misalnya, disebut-sebut mengenai karya-karya sastra yang dianggap melanggar tabu dan merusak moral. Pada akhir masa kolonial, kemunculan Belenggu karya Armijn Pane yang mempersoalkan cinta dan perselingkuhan juga menimbulkan kontroversi. Pada akhir 1960-an terjadi diskusi panjang mengenai novel-novel Motinggo Busye sejak trilogi Bibi Marsiti yang dianggap mengandung banyak unsur pornografi. Selanjutnya, terjadi pula diskusi antara Harry Aveling dengan Goenawan Mohamad sebagaimana yang tampak dalam Seks, Sastra, Kita (ditulis 1969).
Seperti pernah diungkap oleh kritikus sastra Faruk HT melalui sebuah tulisan berjudul Seks dan Politik dalam Sastra Indonesia (2003). Dalam Seks, Sastra, Kita, Goenawan Mohamad melihat ada tiga pola sikap dalam karya sastra Indonesia terhadap persoalan seks dan cara penggambaran seks. Pertama, karya-karya yang berusaha mempersoalkan seks, tetapi tidak berani menggambarkannya, karya-karya yang dalam istilah Harry Aveling memperlakukan persoalan seks itu sebagai mawar berduri. Kedua, karya-karya yang mempersoalkan seks dan menggambarkannya dengan cara meneriakkannya dengan keras-keras. Karya-karya yang demikian mungkin digolongkan sebagai karya-karya pornografis, yang menggambarkan peristiwa erotis secara eksplisit. Ketiga, karya-karya yang mempersoalkan seks sebagai bagian dari kehidupan manusia yang wajar dan menggambarkannya secara wajar pula, seperti yang tersirat dalam cerpen-cerpen awal U mar Kayam dan puisi-puisi Sitor Situmorang.
Pada waktu novel Ayu Utami muncul, Saman (1998), terjadi pula kontroversi. Dalam sejarah sastra Indonesia, sejak Ayu Utami terjadi hal menakjubkan dalam persoalan seks dalam sastra. Bukan hanya karena keberaniannya dalam menulis seksualitas secara eksplisit dibandingkan dengan karya-karya sastra Indonesia sebelumnya, melainkan juga karena penulis yang mengikuti kecenderungan demikian justru para penulis perempuan, seperti Dinar Rahayu, Djenar Maesa Ayu, lalu Nova Riyanti dan Herlinatiens. Dalam sebuah wawancara, pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2004, Dewi Sartika, dengan terus terang mengakui bahwa novelnya, Dadaisme, dipengaruhi oleh cara penulisan Ayu Utami.
Sastra dan Gerak Zaman
Sejarah mencatat, kontroversi atas terbitnya sebuah karya sastra lebih sering terjadi karena ketidaksiapan masyarakat yang bersangkutan atau penguasa (penguasa politis, spiritual, moral) dalam menghadapi ekspresi individu yang berbeda bahkan bertentangan dengan tata nilai kolektif. Di sini, persoalan bergeser dari wilayah sastra menuju wilayah sosiologi, bahkan politik seperti yang terjadi pada karya- karya Milan Kundera.
Ketika D. H. Lawrence memublikasikan Lady Chatterleys Lover di Inggris seabad silam atau saat Gustave Flaubert di Prancis menerbitkan Madame Bovary beberapa tahun sebelumnya, banyak orang merasa tersengat bukan karena muatan seks kedua novel itu, melainkan karena kedua karya sastra itu dengan terbuka menyerang hipokrisi kelakuan seksual kaum elite masyarakatnya. Dalam kedua novel itu, dikisahkan perselingkuhan para istri lelaki terhormat (Lady Chatterley dan Emma Bovary) yang justru menemukan kebahagiaan di luar perkawinan. Lady Chatterley bahkan dikisahkan berselingkuh dengan tukang kebun suaminya sendiri, seorang bangsawan dan veteran perang yang invalid. Sebuah tamparan bagi sebuah konstruksi sosial yang telah mapan dan tak menghendaki kritik. Itu pula yang terjadi di sini dengan Belenggu karya Armijn Pane di tahun 1930-an.
Ketika pada ujung 1960-an hingga awal 1970-an terjadi revolusi seks di Amerika Serikat sebagai reaksi atas perang yang terus dikobarkan di mana-mana (Korea, Vietnam) oleh generasi tua mereka yang berpandangan patriarkis; keterbukaan seks menjadi tema pemberontakan anak-anak muda dan rasa takut pada maut (fear) dihadapi dengan cinta (love) lewat semboyan yang terkenal itu (make love, not war!), sejumlah nama muncul sebagai ikon, termasuk dalam sastra.
Salah satunya Anas Nin (1903-1977) yang kebetulan seorang perempuan. Novelis dan cerpenis Amerika keturunan Prancis yang menulis serangkaian catatan harian bermuatan seksual eksplisit itu di ujung usianya mengukuhkan namanya sebagai ikon feminis dan penulis garda depan di negerinya seiring dengan gerak zaman yang menuntut keterbukaan. Itu semua dikaitkan pula dengan sejumlah affair-nya dalam kehidupan nyata, termasuk dengan penulis terkemuka Amerika lainnya, Henry Miller.
Dalam pengantar untuk kumpulan cerita erotisnya, Delta of Venus: Erotica (1969), Nin yang merupakan pengagum D.H. Lawrence antara lain menulis bahwa yang dilakukannya adalah mencoba menuliskan aspek seksualitas perempuan dari sudut pandang dan penghayatan perempuan sendiri, bukan seksualitas perempuan dari kacamata lelaki seperti yang dilakukan D.H. Lawrence melalui sejumlah karakter perempuan dalam novel-novelnya: Lady Chatterley, Ursula Brangwen.
Perempuan dan Kelamin dalam Sastra Kita
Hal serupa tampaknya sedang terjadi di sini sejak enam tahun silam. Memang bukan pertama kali dalam sejarah sastra kita perempuan menuliskan seksualitas secara terbuka dalam karyanya. Nh. Dini telah melakukannya, juga Titis Basino atau Dorothea Rosa Herliany yang oleh seorang penyair dijuluki perempuan yang mengacaukan identitasnya dengan diksi laki-laki. Bedanya, saat ini hal itu terjadi secara bersamaan, seperti wabah, dan melibatkan banyak nama baru yang sesungguhnya sangat potensial.
Momentumnya adalah runtuhnya rezim Orde Baru yang militeristis, patriarkis, puritan, otoriter dan monolitik. Rezim yang tumbang itu menyukai kekerasan, mengagungkan keseragaman dan membenci keberagaman. Mereka berkeras mendikte orang banyak tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Ekspresi unik individu direpresi atas nama stabilitas. Mereka memasung banyak hal: perempuan, seksualitas, kebebasan berkreasi, hak berpolitik, serta mencampuri banyak hal yang sesungguhnya berada pada wilayah privat.
Ayu Utami, sang pemula, melalui Saman (ditulis 1997, saat Soeharto masih berkuasa) menggugat banyak hal, bukan sekadar seks, melainkan bila kita membaca dengan jeli yang lebih kental dalam novel itu adalah nuansa politisnya, terutama gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru yang militeristis dan segala kekuasaan patriarkis. Meminjam terminologi Mikhail Bakhtin, novel itu mengandung hetroglossia, keragaman, layaknya sebuah karnaval. Novel itu berkisah tentang pemogokan buruh, kolusi pengusaha perkebunan dengan militer lokal, penyiksaan aktivis, fenomena gaib, sekaligus mempertanyakan iman Katolik, dominasi lelaki atas perempuan, seksualitas dan cinta, dibalut bahasa yang indah dan eksploratif.
Setelah Saman muncul, berbondong-bondong kaum perempuan yang sebelumnya terkekang menyatakan pemberontakan dalam karya-karya mereka, termasuk yang menggarap seksualitas sebagai tema, seperti Dinar Rahayu dan Djenar Maesa Ayu. Masyarakat yang tidak siap menyaksikan sesuatu yang baru gelagapan. Banyak reaksi yang terjadi justru tak lebih dari serangan terhadap kehidupan pribadi penulisnya, bukan diskusi yang bernas dan memperkaya tentang karya mereka. Kalimat-kalimat mereka dipotong dari konteksnya hanya untuk membuktikan betapa para perempuan ini telah mengumbar kecabulan dalam karya mereka.
Dalam acara diskusi buku pertamanya, Ode untuk Leopold von Sacher- Masoch, yang menyingkap fenomena kelainan seksual dalam masyarakat urban kita, Dinar Rahayu dipojokkan dengan pertanyaan pribadi yang tak ada sangkut paut dengan karyanya. Dia dihujat dan dianggap tidak senonoh karena menulis sebuah gugatan melalui novel. Dia kemudian harus membayar publikasi novelnya itu dengan kehilangan pekerjaan sebagai guru kimia di sebuah sekolah swasta terkemuka di Bandung.
Mengapakah kita begitu terganggu ketika para perempuan menulis tentang kelamin dan perkelaminan? Begitu burukkah ketika seorang perempuan menulis dengan jujur tentang seksualitas dari kacamata perempuan sendiri?
Sesungguhnya tak ada pembagian kerja secara seksual dalam sastra. Artinya, tidak relevan mengatakan perempuan harus menulis apa dan lelaki boleh menulis apa. Juga tidak relevan mengaitkan sebuah karya dengan kehidupan pribadi penulisnya. Pada dasarnya, baik buruk sebuah karya sastra hanya layak diukur dengan parameter yang berkaitan dengan sastra.
Apa yang terjadi belakangan ini sebenarnya merupakan reaksi atas represi terhadap perempuan oleh tata nilai yang serba patriarkis. Karya para sastrawati itu justru menambah semarak khazanah sastra kita dengan keragaman tema dan suara. Ketika para perempuan bangkit dan meneriakkan gugatannya secara terbuka, mengapa kita harus takut?
Bahan dari
Sumber : Nonsens!, IndonesiaTera, Magelang, 1999; vi)
Penulis : Anton Kurnia, cerpenis dan esais

Komentar