Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Masuk Mola Pondok Indah Harus Pakai Paspor?

Oleh SALOMO SIMANUNGKALIT

Mola Pondok Indah itu di mana, Bung? Tentu saja belum tercantum dalam atlas Jakarta mana pun. Mol Pondok Indah? Tak juga. Mal Pondok Indah? Ada yang menyalin begitu. Mall Pondok Indah? Ini hanya masuk akal dalam bahasa Indonggris.[block:views=similarterms-block_1]

Mol, mal, atau mall? Terserahlah! Kawula sampai penggawa di sini tak bakal punya alasan memilih salah satu sebab keajekan berdasar nalar dalam alih bunyi ke aksara belum menyusup sampai di sumsum.

Dari mana pula mola? Nah, ini gagasan Ayatrohaedi. Ada ball ada bola, ada mall ada mola. Suang, bukan? Mari belajar menyusun ketentuan memungut kata-kata sileban berdasarkan pola. Ini yang dikenal sebagai analogi. Namun, analogi bukanlah visa cuma-cuma buat menyerap semua (x)all dalam Inggris menjadi (x)ola dalam Indonesia. Call tak perlu diadopsi jadi kola, misalnya, sebab jodoh kata benda ini ditemukan hampir dalam semua bahasa di dunia.

Demi memasarkan gagasan almarhum Mang Ayat yang berdasar nalar itu, saya pakai mola. Janggal? Semula ya, lama-lama lumrah juga. Tinggal tunggu waktu. Kalau waktu masih belum berpihak kepada Mang Ayat, serapan mall yang paling dekat mestinya mol sebab banyak orang membunyikannya: m-o-l. Ortografi yang tepat sesuai dengan ucapan kebanyakan kita setakat ini untuk kata Inggris itu niscayalah mol.

Di jembatan penyeberangan utara maupun selatan yang menghubungkan dua mola terpisah olch jalan di bilangan Pondok Indah, Jakarta terpampang tulisan gede berwarna biru menantang: Pondok Indah Mall Hanya itu! Tak ada sandingannya: entah Mal Pondok Indah, entah Mol Pondok Indah, entah Mola Pondok Indah.

Bingung juga saya. Saya sedang berada di Jakarta atau di di negeri lain? Ia seperti menguji Gubernur DKI Sutiyoso, sampai di mana ketulusannya menegakkan aturan. Perda DKI Nomor 1 Tahun 1992 menghendaki setiap papan nama atau papan petunjuk "harus ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar". Ayat lain pasal yang sama menyebutkan papan nama atau papan petunjuk dapat memakai bahasa asing, tapi "harus ditulis di bagian bawah bahasa Indonesia dengan huruf Latin yang lebih kecil". Yang melanggar, menurut Pasal 8, diancam dengan pidana kurungan atau denda!

Pondok Indah Mall itu sekadar nama? Pasti bukan, sebab mall sudah pasti menunjuk pada jenis gedung yang diberi nama itu. Bentuk ungkapan seperti itu mengikuti bahasa apa? Pasti bukan kata bahasa Indonesia sebab Pondok Indah Mall tidak sesuai dengan struktur kata majemuk pada umumnya dalam bahasa Indonesia. Di sini kita sedang bicara langue dalam paham Saussure.

Lalu, mengapa bisa tegak di sana berbulan-bulan tanpa pendamping?

Bisa jadi mola di Pondok Indah itu berada di luar wilayah DKI, bahkan di luar wilayah RI. Mana mungkin hukum Indonesia berlaku di sana! Lihatlah papan-papan petunjuk di dalam mola 2! Kecuali papan petunjuk nomor-nomor pintu, semua hanya dalam bahasa Inggris: directory, elevator, fire stair, food court, north court, north skywalk, nursing, rest room, 2nd floor, services, smoking area, south court, south skywalk, dsb. Pada shopping directory kita jumpai food & beverage, home appliance & decorations, legend, kids & toys, dst. Di mola 1 keadaan lebih baik. Di sana sini masih tersua petunjuk dalam bahasa Indonesia.

Bandingkan dengan papan-papan petunjuk di bandara antarbangsa di Kualalumpur atau Singapura! Selalu kata-kata Melayu mendampingi kata-kata Inggris: tandas bersebelahan dengan toilet, ketibaan bertetangga dekat dengan arrival, dll. Jangan lupa, persentase penduduk Malaysia atau Singapura yang mampu berbahasa Inggris jauh di atas persentase penduduk Indonesia untuk kemampuan serupa.

Kalau sentana bandara antarbangsa dengan garis imigrasinya dapat diterima sebagai perbatasan antarnegara, Pondok Indah Mall 2 dalam konteks ini kiranya dapat dipandang sebagai wilayah di luar Indonesia. Ia berada di sebuah negeri yang bahasa resminya bahasa Inggris. Bahwa 90 persen pengunjung di sana berbahasa utama bahasa Indonesia, tentulah mereka kalangan yang suka belanja atau makan minum di negeri seberang.

Pertanyaan kita, mengapa masuk di sana masih belum diharuskan menggunakan paspor supaya kita tak lagi usah berharap Sutiyoso membereskannya?

Sumber : Kompas, Jumat 28 Juli 2006, Hal 15

Komentar