Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Editing: Dari Studi Hingga Panggilan Nurani

Editing merupakan nama asing bagiku ketika kali pertama mendengarnya. Akan tetapi, aku tidak terlalu ngoyo untuk melanjutkan pendidikan di bidang teknik meskipun aku lulusan SMA dari program fisika (A1). Karena itu, ketika disodorkan pilihan oleh kakakku -- sebagai alternatif -- agar aku mendaftar juga di subprogram Studi Editing di Sastra Unpad, aku menerimanya dengan antusias. Takdir memang menunjukkan bahwa aku gagal masuk ITB yang kuidam-idamkan. Bahkan, aku pun tidak diterima di Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan (PAAP) Universitas Padjadjaran (Unpad) yang juga coba aku masuki. Sebaliknya, aku diterima di Editing Unpad, sebuah jurusan yang masih menjadi tanda tanya di benakku. Mau jadi apa aku nanti jika kuliah di sini?

Meskipun demikian, dapat diterima di Editing Unpad menjadi rasa syukur yang tak terhingga bagiku. Kuliah di Bandung, apalagi universitas negeri, adalah idamanku sejak duduk di bangku SMA Negeri 5 Medan. Berangkat dari kondisi biaya kuliah yang pas-pasan, aku bertekad menjalani kuliah di Editing dengan serius tanpa harus merasa kecewa karena gagal kuliah di bidang teknik.

Media Massa

Kuliah di Editing jelas memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagiku. Ternyata, aku diperkenalkan kepada dunia yang sama sekali tidak pernah terbayangkan pekerjaannya yaitu dunia penerbitan buku. Pada saat kuliah aku memproyeksikan diriku menjadi seorang editor buku yang memiliki keahlian di bidang penyuntingan naskah, perpustakaan, dan kebahasaan. Pengalaman dan pengetahuan baru itu menumbuhkan ketertarikanku untuk menggali ilmu penerbitan (publishing science) dan ilmu penyuntingan (editologi) yang akhirnya berbuah menjadi rasa cinta terhadap ilmu itu sendiri. Akhirnya, aku pun mengubur cita-cita untuk menjadi "tukang insinyur" dan mulai memposisikan diri untuk menjadi seorang editor yang andal.

Dari kuliah-kuliah yang kuikuti, aku sangat mengagumi dua orang dosen yang sampai sekarang tetap kuanggap sebagai guru, yaitu Ibu Sofia Mansoor dan Bapak Dadi Pakar. Kedua orang ini lalu kukenal sebagai tokoh perbukuan nasional dan memiliki banyak pengalaman serta pengetahuan di dunia perbukuan. Mereka berdua juga berangkat dari bidang ilmu yang berbeda dan jauh dari dunia buku, yaitu farmasi dan teknik elektro di ITB. Namun, mereka menunjukkan bagaimana profesi editor itu begitu memberikan kesenangan dan kehidupan yang layak untuk mereka hingga harus "meninggalkan" bidang ilmu asalnya. Aku terobsesi dengan dua orang ini yang kelak mendorongku untuk menjadi seperti mereka.

Berusaha Menjadi Seorang Bookaholic

Editor buku jelas dan mutlak harus gemar membaca. Hal itulah yang kupahami sebagai konsekuensi untuk menjadi editor yang andal. Sewajarnya, aku sangat bersyukur sejak kecil telah didekatkan oleh orang tuaku dengan kebiasaan membaca. Masa kecil dulu aku banyak melahap bacaan majalah anak, buku-buku cerita Inpres, dan juga karya- karya terjemahan. Ketika aku kuliah, aku berusaha menumbuhkan kecintaan yang lebih terhadap buku. Aku mulai membaca dari hal-hal yang menarik minatku, yaitu sastra, penerbitan buku, dan jurnalistik. Karena memang masa dulu aku belum mampu untuk mengoleksi buku sendiri -- bahkan, buku kuliah wajib aku sering hanya memfotokopinya -- aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan.

Aku lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan di bagian buku bahasa dan sastra, serta terutama bagian buku ilmu komunikasi. Aku ingat betapa aku sangat getol membaca majalah Penyuluh Grafika terbitan Pusat Grafika Indonesia yang ada di bagian majalah, bidang ilmu komunikasi. Aku sangat menantikan terbitnya majalah itu setiap bulan karena isinya banyak memuat pengetahuan penerbitan buku serta penyuntingan yang tak kudapatkan di bangku kuliah. Majalah-majalah ini lalu beberapa kupinjam, isinya yang relevan dan menarik kufotokopi dan kukliping. Kelak, pengetahuan dari majalah ini sangat membantuku menyusun laporan akhir studi di editing dan juga dalam bekerja. Sayangnya, majalah ini tidak kudengar riwayat penerbitannya.

Dengan bekal uang pas-pasan, aku juga memburu berbagai buku tentang penerbitan yang memang sulit dicari. Terkadang, aku berusaha meminjamnya dari dosen ataupun dari teman yang memilikinya, lalu memfotokopinya.

Aku pun banyak membaca buku tentang jurnalistik yang juga kelak mempengaruhi minatku dalam bidang tulis-menulis. Meskipun dalam kuliah aku diarahkan untuk bekerja di bidang perbukuan, aku mengembangkan juga minat di bidang jurnalistik sehingga aku banyak tahu tentang pola penulisan media massa dan juga tata kerja media massa.

Jelas, buku-buku yang kubaca membantuku dalam studi dan juga pengembangan minat dan kemampuanku. Aku mulai tergila-gila dengan buku dan orang sering menyebutnya bookaholic atau kutu buku. Pada akhir kuliah, aku memiliki koleksi paling lengkap di antara teman-temanku buku-buku tentang penerbitan dan jurnalistik. Selain itu, aku juga memiliki koleksi kliping tentang dunia penerbitan buku di Indonesia yang kukumpulkan dari koran-koran. Hingga kini koleksi bukuku pun menumpuk di sudut-sudut kamar, bahkan di sekeliling meja kerjaku.

Setahun Menganggur, Menghasilkan Buku

Aku lulus Editing Unpad tahun 1994. Pada masa aku lulus, editor belumlah sepopuler sekarang dalam dunia penerbitan. Setahuku, penerbit-penerbit di Indonesia mulai sadar akan keberadaan editor pada sekitar awal 1990-an. Sebelum masa itu, profesi editor tidak pernah dikenal dan diketahui fungsinya dalam sebuah penerbitan buku. Dengan kondisi demikian, merupakan perjuangan bagiku untuk melamar pekerjaan sebagai editor dan meyakinkan penerbit untuk menggunakan tenagaku.

Setelah lulus, beberapa surat lamaran aku layangkan ke berbagai penerbit, tetapi tidak satu pun yang memanggilku. Sekali waktu aku sempat dipanggil oleh majalah Forum Keadilan untuk menempati posisi sebagai staf redaktur bahasa. Akan tetapi, tampaknya aku tidak lulus dalam tes bahasa Inggris hingga gagallah aku berkiprah di media massa.

Pada masa ini aku sempat pesimis dan juga merasa "kecil" ketika melihat beberapa temanku sudah berhasil kerja meskipun di antara mereka juga ada yang memanfaatkan koneksi di penerbitan. Ketika itu, aku pun sempat berpikir untuk meminta bantuan dari orang lain agar bisa bekerja dengan rekomendasi darinya. Namun, hal ini sangat tidak mengenakkan hati hingga aku masih berusaha bersabar.

Jiwa kreatifku memaksaku untuk segera melakukan hal lain sebelum benar-benar bekerja di penerbitan. Bersama sembilan orang teman-teman seangkatan, aku mendirikan lembaga jasa penyuntingan bernama Komposisi 91, lembaga yang kukira belum ada duanya di Indonesia. Dari lembaga ini untuk kali pertama aku memperoleh order penulisan dan penyuntingan naskah buku pelajaran. Kiprahku sebagai penulis dan editor buku lepas waktu kumulai dari sini. Setidaknya, aku mengerjakan tak kurang dari sepuluh judul buku pelajaran di bidang ilmu-ilmu sosial, dan inilah untuk kali pertama aku menghasilkan karya tulis dalam bentuk buku. Buku pelajaran karya pertamaku diterbitkan oleh Penerbit Granesia, lalu juga oleh Media Iptek. Dan, merupakan suatu kebahagiaan tersendiri manakala akhirnya namaku terpampang di sampul depan buku.

Pada tahun 1995, aku pun sempat bekerja sebagai instruktur jurnalistik di sebuah lembaga pendidikan keterampilan di Bandung. Rupanya, ilmu jurnalistik yang kudalami sejak di bangku kuliah secara autodidak, akhirnya bermanfaat bagiku untuk bekerja secara resmi kali pertama. Selain itu, pengalaman dalam dunia tulis-menulis juga sangat membantu.

Kisahku sebagai penulis juga sebenarnya merupakan perjalanan panjang. Sejak awal memasuki bangku kuliah, sudah coba-coba menulis puisi, cerpen, artikel, dan feature. Selama tiga tahun di bangku kuliah aku mencoba menulis, selama itu pula tulisanku tidak pernah dimuat di media massa. Berkali-kali tulisanku ditolak dan dikembalikan. Namun, menjelang lulus kuliah, tulisanku pun akhirnya muncul di tabloid Hikmah. Hingga kini aku telah menulis di berbagai media massa dan beberapanya tentang perbukuan, seperti di Mitra Desa, Pikiran Rakyat, Galamedia, Suara Publik, Berita Buku, Hoplaa, Peluang, dan Republika.

Kemampuan tulis-menulis ini kelak mengantarkan jalan suksesku sebagai editor buku. Pada saat itu, aku meyakini bahwa kemampuan menulis merupakan kemampuan yang mutlak harus dimiliki seorang editor. Tidak dapat diharapkan seorang editor akan mampu menyunting tulisan orang lain jika ia sendiri pun tidak memahami apa-apa tentang menulis. Dengan kemampuan menulis, editor bisa berempati sebagai penulis.

Menjadi Benar-Benar Editor

Obsesiku untuk menjadi editor buku yang sebenarnya, akhirnya terwujud. Pada 1995, lewat sebuah tes, aku akhirnya diterima di sebuah penerbitan buku yang cukup punya nama di Indonesia. Penerbit ini berkedudukan di Bandung dan menerbitkan berbagi jenis buku, yaitu pelajaran, perguruan tinggi, agama Islam, umum, dan anak-anak.

Untuk kali pertama aku diterima sebagai copy editor. Copy editor atau editor isi naskah merupakan jenjang karier yang masih setingkat di bawah editor. Jadi, sebenarnya profesi editor itu bisa dibagi-bagi lagi sesuai dengan jenis pekerjaannya. Karena itu, dalam sebuah penerbitan yang besar, editor bisa terdiri atas beberapa orang dengan tugas berbeda-beda. Kedudukan editor paling tinggi biasanya disebut sebagai Editor Kepala (Chief Editor) atau Editor Pengelola (Managing Editor). Ada pun copy editor hanya bertugas sebatas menyunting naskah yang meliputi penyuntingan mekanik (mechanical editing), yaitu memeriksa penerapan EYD, penerapan gaya selingkung (house style), dan penggunaan kalimat. Yang disebut editor cakupan kerjanya bisa lebih luas lagi, yaitu menyunting data dan fakta, melakukan penulisan ulang (rewriting), menetapkan format ataupun tata letak buku bersama penata letak, memiliki wewenang menilai kelayakan naskah, dan mengurus perjanjian penerbitan.

Jadi, kali pertama aku bekerja sebagai copy editor buku yang pertama kusunting adalah buku populer Islam. Pengalamanku saat praktik kerja di penerbit Gema Insani Press sangat membantuku untuk menyunting buku- buku Islam tersebut. Hari pertama bekerja kuhabiskan dengan membaca keseluruhan naskah dan mengoreksi, kesalahan-kesalahan yang tampak. Hari-hari selanjutnya, aku mulai berkenalan dengan istilah-istilah teknis penerbitan dan pekerjaan-pekerjaan lainnya secara nyata. Dari sini, aku mulai melihat banyak perbedaan antara teori yang kupelajari di bangku kuliah dan praktik langsung. Namun, aku mencoba menghubungkan pekerjaanku dengan pengetahuan-pengetahuan yang kuperoleh dari buku maupun kliping-kliping tulisan di media massa koleksiku.

Namaku akhirnya benar-benar muncul di halaman hak cipta sebagai copy editor. Hal inilah yang merupakan kebanggaan besar dan salah satu bentuk penghargaan profesi yang sangat membesarkan hati. Akhirnya, aku berhasil menerapkan ilmu yang kupelajari untuk menjadikan sebuah buku layak diterbitkan dan dibaca. Bukan sekadar kepuasan yang kuperoleh, melainkan kupercayai juga bahwa hasil kerjaku ini benar-benar menjadi amal saleh yang akan terus mengalir selama buku ini masih dibaca orang. Betapa tidak? Aku menyunting buku-buku agama yang jelas-jelas mengandung dakwah agar manusia selalu berada pada jalan kebenaran sesuai dengan tuntunan Allah Swt.

Dari menyunting buku agama, aku dipercaya pula menyunting buku-buku perguruan tinggi, buku umum, buku pelajaran, hingga buku anak-anak. Semua pekerjaan itu kuterima dengan senang hati tanpa hendak memilih-milih sesuai dengan minatku. Aku percaya justru dengan menyunting berbagai jenis buku akan memberikan pengalaman dan pengetahuan yang kompleks bagiku. Aku bisa menjadi editor fleksibel untuk menyunting buku apa saja karena pada dasarnya teknik yang digunakan sama, hanya mungkin terdapat perbedaan dalam penggunaan bahasa, gaya penulisan dan bidang ilmu.

Karena dasarnya memang senang belajar dan selalu berusaha ingin tahu terhadap hal-hal baru - sebuah sikap memang harus dibangun oleh seorang editor - minatku berkembang pada bidang tata letak dan desain buku. Secara mencuri-curi aku mempelajari setting dan tata letak buku dengan menggunakan program Page Maker. Dari sinilah aku mengembangkan kemampuanku di bidang pengetikan secara cepat dan keterampilan desktop publishing.

Untuk pertama kalinya aku menggunakan Macintosh untuk mengeset dan menata letak buku. Selanjutnya, aku lebih akrab dengan personal computer (PC) dan mendalami program desktop publishing, Adobe Page Maker, serta Photoshop. Keterampilan dan kemampuan ini kini kudengung-dengungkan sebagai keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang editor - satu hal yang mendorongku untuk juga belajar tipografi. Saat ini tidak bisa diharapkan lagi seorang editor yang sama sekali buta tentang desktop publishing karena hal itu akan membuat dia tidak mampu memberikan kontribusi pemikiran terhadap tata letak dan desain sebuah buku. Jika editor menyerahkan sepenuhnva masalah tata letak dan desain buku kepada penata letak ataupun desainer, hal ini bisa berakibat fatal karena penata letak dan desainer bisa berkreasi sendiri dengan mengabaikan prinsip-prinsip fungsional dalam sebuah buku.

Pertemuan Cinta Dengan Buku Anak

Aku mencatat beberapa keberhasilan dalam mengerjakan proyek penyuntingan buku. Kemampuan menulisku juga sering kumanfaatkan untuk membuat teks iklan maupun wara (blurb) bagi buku-buku baru yang diterbitkan. Aku pun banyak menulis tentang penerbitan buku di media massa, terutama di media perbukuan yang kini sudah almarhum, yaitu Berita Buku. Selain itu, aku juga mengukir prestasi spektakuler yang sekaligus menjadi penutup bagi minatku untuk menulis buku pelajaran yaitu lolosnya buku pelajaran bahasa Indonesia yang kutulis dalam penilaian Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca (PPMB) didanai oleh Bank Dunia. Bukan sekadar kebetulan jika akhirnya buku itu juga digunakan oleh adik dan keponakanku yang duduk di bangku SMP. Sebuah kebanggan lain yang kupersembahkan untuk orang tuaku.

Minatku mulai bertumbuh kembang pada buku anak. Beruntung, pada 1996 aku dikirim untuk mengikuti Pelatihan Penulis dan Ilustrator Buku Anak yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan (Pusbuk) dan ACCU-UNESCU. Kendala bahasa membuatku merasa tak puas dan menjadi kenyataan bagiku bahwa menguasai bahasa Inggris adalah mutlak agar kita bisa berkomunikasi dengan bangsa lain.

Minatku terhadap buku anak boleh dikatakan sebagai pertemuan cinta yang dimulai dari pelatihan tadi. Sepulang dari situ aku lebih banyak berkiprah dalam penanganan penyuntingan buku anak. Aku pun banyak berkutat dengan buku-buku Inpres yang akhirnya kuketahui sangat tidak menarik dan mengabaikan dunia anak. Aku mulai memahami mengapa buku-buku Inpres itu tidak menarik anak dan bagaimana sebenarnya penulis-penulis buku anak Indonesia seolah-olah lupa dengan pembaca sasaran buku ini. Aku mulai sadar bahwa penulisan buku anak sebenarnya memerlukan keterampilan tinggi, terutama dalam penggunaan bahasa, pengungkapan imajinasi, penggambaran ilustrasi, dan pemilihan tema.

Aku pun mulai mendalami teori-teori tentang penulisan anak dan sastra anak. Minatku ini kubawa hingga aku melanjutkan kuliah di program ekstension Sastra Indonesia Unpad pada 1997. Aku mengajukan skripsi tentang sastra anak berjudul Model Tematik Novel Anak Indonesia dekade 1990. Skripsiku itu telah mewujud menjadi sebuah buku berjudul Fenomena Intrinsik Cerita Anak Indonesia Kontemporer: Dunia Sastra Yang Terpinggirkan yang diterbitkan oleh penerbit Nuansa bekerja sama dengan Yayasan Adikarya Ikapi serta Ford Foundation dalam kaitan Program Pustaka I.

Pada dasarnya, aku paham bahwa profesi editor menurutku untuk menguasai satu bidang ilmu dan aku merasa yakin untuk mengambil spesialisasi di bidang sastra anak. Semula aku sempat tidak pe-de (percaya diri) karena dalam satu kesempatan seminar aku dikritik oleh "empu" sastra anak Indonesia yaitu Ibu Murti Bunanta. Beliau, di depan para peserta mengatakan bahwa ada seorang peneliti muda yang ingin cepat terkenal dan membuat pernyataan tentang buku cerita anak yang menurutnya masih lemah. Bu Murti tidak sadar bahwa orang itu adalah aku yang saat itu sedang menjadi moderatornya. Ketika aku menjelaskan bahwa orang yang dimaksud adalah aku, dengan malu-malu ia tersenyum, lalu berkata bahwa sebenarnya aku ini berbakat, hanya perlu belajar banyak lagi. Untuk itu, beliau menganjurkan aku melanjutkan kuliah S2 di Jurusan Perpustakaan UI.

"Tidak dapat diharapkan seorang editor akan mampu menyunting tulisan orang lain jika ia sendiri pun tidak memahami apa-apa tentang menulis." Bambang Trimansyah

  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Di luar pengalaman itu, aku memang kini benar-benar jatuh cinta terhadap buku anak. Dari kecintaan ini pula akhirnya aku hengkang dari penerbit tempatku bernaung semula pada tahun 1997. Lalu, aku bergabung dengan penerbit yang sama sekali masih baru bernama Salam Prima Media. Di sini aku mengembangkan secara habis-habisan kemampuan dan kreativitas di bidang buku anak, terutama buku anak Islam. Sampai saat ini selama tiga tahun aku bekerja, aku telah menulis puluhan buku anak dan buku umum, bahkan satu di antaranya sempat diulas dalam rublik Pustaka di Republika. Bukuku dari hasil skripsi tadi juga sempat diresensi di Tabloid Tekad.

Obsesiku yang Masih Menggantung

Sampai kini karierku berlanjut dari seorang editor hingga menjadi manajer penerbitan. Kata orang, karierku termasuk cepat pada usia yang tergolong muda (aku lahir tahun 1972). Apalagi, aku telah menghasilkan karya dalam bentuk buku yang berjumlah puluhan, suatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dunia buku pula yang mengantarkanku melakukan lawatan pertama ke luar negeri, mengunjungi pameran buku terbesar di dunia, Frankfurt Book Fair, pada tahun 1999 lalu.

Pengalamanku di dunia buku juga akhirnya menarikku back to campus karena aku diminta menjadi dosen luar biasa di Editing Unpad. Aku pun dipercaya mengajar praktik penyuntingan dan sebuah ilmu yang baru saja kudalami, yaitu tipografi. Menjadi dosen setidaknya mewujudkan obsesiku untuk menjadi seperti dua orang dosenku yang tadi kusebutkan.

Kiprah di dunia buku juga kukembangkan dengan mendirikan sebuah LSM perbukuan bernama Pusat Informasi dan Kajian Perbukuan (Pikbuk) bersama teman-teman seide. Organisasi ini relatif baru (berdiri Mei 1999), tetapi menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti seminar profesi penulis buku, pelatihan penulisan buku, penerbitan buletin perbukuan Membaca, serta pelatihan SDM perbukuan bekerja sama dengan Ikapi Jabar. Dalam kesempatan tersebut, aku juga turut menjadi instruktur bersama-sama kedua dosen yang kini menjadi rekan seprofesiku.

Pikbuk kuharapkan bisa berkiprah secara nasional sebagai lembaga di luar pemerintah yang menaruh kepedulian terhadap buku. Untuk itu, aku pun mengharapkan adanya pihak-pihak yang berkepentingan yang bisa membantu aktivitas Pikbuk. Hingga kini aku memang kesulitan untuk memperoleh dana dalam penyelenggaraan kegiatan Pikbuk. Pikbuk kuorientasikan untuk meminimalkan keawaman masyarakat kita tentang dunia buku. Sebuah obsesi yang masih coba kuwujudkan.

Memang ada banyak obsesiku di dunia buku yang telah terwujud, tetapi ada pula yang kurasa masih menggantung. Jelas, aku menginginkan dunia perbukuan Indonesia mendapat perhatian penuh dan berkembang seperti negara maju. Karena itu, aku pun berkeinginan mendalami ilmu penerbitan dan editologi hingga tingkat S2 dan S3. Inginnya aku memperoleh bea siswa dari pemerintah ataupun mungkin lembaga asing semacam Ford Foundation untuk menggali ilmu di negara-negara yang telah maju penerbitannya, seperti Inggris atau Jerman. Kusadari bahwa Indonesia kini sangat kekurangan tenaga ahli di bidang perbukuan. Tenaga ahli yang kukenal, termasuk dua dosenku tadi, sudah memasuki usia tua dan belum ada yang layak menggantikannya. Tenaga-tenaga muda lulusan D3 Editing Unpad dan Politeknik Penerbitan UI pun tampaknya kurang mampu berperan banyak dengan ilmu yang terbatas. Karena itu, Indonesia perlu memiliki pendidikan S1, bahkan S2 di bidang ilmu penerbitan guna mengantisipasi kebutuhan terhadap tenaga ahli di bidang penerbitan buku.

Aku benar-benar meyakini sebuah sinyalemen bahwa kedekatan suatu bangsa terhadap buku berbanding lurus dengan kemajuan bangsa tersebut. Untuk itu, dunia perbukuan Indonesia perlu mendapat perhatian serius. Peluang pengembangannya kurasa masih terbuka luas. Aku tak ingin pada era bebas nanti justru penerbit asing yang mengambil alih tugas memajukan bangsa ini lewat buku. Karena itu, Anda pembaca sekalian yang dari tadi mengikuti kisahku, mengapa tidak menemaniku untuk berkiprah di dunia buku, dunia fantastis yang menawarkan antusiame hidup. Selamat berkiprah!

Audio Editing: Dari Studi Hingga Panggilan Nurani

Diambil dari:
Judul artikel : Editing: Dari Studi Hingga Panggilan Nurani
Judul buku : Menjadi Penerbit: Para Praktisi Industri Penerbitan Buku di Indonesia Berbicara Mengenai Profesina
Penulis artikel : Bambang Trimansyah
Penerbit : IKAPI, Jakarta
Halaman : 129 -- 140

Komentar